Mungkin kita akan geleng kepala melihat realitas masyarakat Indonesia yang telah dikonstruksi sedemikian rupa di media sosial. Jika tadinya media sosial mampu menghapus sekat ruang dan waktu, justru saat ini malah menciptakan sekat baru. Sekat yang lebih tegas dan provokatif. Menggiring keberagaman masyarakat Indonesia menjadi dua kelompok besar.
Sekat itu diciptakan oleh pihak yang mencari keuntungan pribadi maupun kelompok. Di antaranya para elite politik yang ingin memperpanjang atau kekuasaan. Hal ini maklum, karena sikap politisi dari dulu memang seperti itu. Satu hal yang tidak habis pikir ialah ketika banyak orang memanfaatkan label "ustadz", berbicara tentang politik praktis di mimbar keagamaan.
Masyarakat yang cerdas dan kritis berada dalam posisi dilema. Di satu sisi ketika mereka mengkritik ceramah agama beraroma politik praktis tersebut, ia dianggap telah memusuhi ulama. "Kamu muslim bukan? Kalau emang muslim harus nurut sama ulama. Jangan pilih si A." Ustadz bagaikan dewa yang tidak bisa salah.
Akibatnya berdebat kusir tentang persoalan agama yang paling remeh hingga mengarah ke aspek kehidupan beragama yang lebih luas. Persoalan-persoalan yang seharusnya melingkupi banyak aspek yang kompleks, dipersempit ceramah-ceramah para ustadz yang banyak berseliweran di media sosial.
Padahal belum tentu diketahui seberapa luas khazanah keilmuan yang dimiliki oleh para ustadz itu. Belum lagi berbicara tentang sanad keilmuan, serta proses panjang untuk mematangkan ilmu pengetahuan sebelum adanya keberanian untuk membagikannya kepada masyarakat luas.
Mereka berdalih dengan hadis Nabi Muhammad yang memerintahkan untuk menyampaikan ilmu walaupun satu ayat. Namun jika kadar pengetahuan mereka belum mampu untuk menularkan pengetahuan tersebut, apakah anjuran itu tetap wajib dilakukan? Apakah mereka tidak berpikir dampak yang akan ditimbulkan?
Meskipun bukan satu-satunya faktor, keterlibatan para ustadz yang populer di media sosial turut membentuk pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung terpolarisasi ke dalam dua kubu. Antara benar atau salah, hitam atau putih, muslim atau non muslim. Apalagi persoalan agama tersebut dicampuradukkan dengan persoalan politik praktis. Maka sudah jelas akan mengarah pada hujatan
Sampai sejauh ini, pikiran dan pengetahuan masyarakat muslim Indonesia, terutama generasi milenial, telah terdogma oleh simbol-simbol agama yang ditanamkan setiap waktu oleh para ustadz melalui ratusan konten di media sosial. dalam hubungan triadik semiologi Roland Barthes, tanda, penanda, dan petanda, seluruh konten tersebut hanya berupa penanda yang membentuk sebuah mitos baru.
Ustadz media sosial menjadi cerminan Nabi Muhammad yang paling sempurna di era sekarang. Setiap ucapan dan tingkah laku para ustadz menjadi rujukan utama bagi setiap umat muslim yang mengaguminya.
Mitos yang telah tercipta tersebut sangat sulit untuk terdeteksi, sebab ia mentransformasikan sejarah. Membentuk satu peristiwa yang alamiah sehingga secara tidak sadar memanipulasi masyarakat. Memunculkan persepsi, "natural dan memang seharusnya itu yang terjadi". Setidaknya itulah yang dibaca oleh umat muslim yang masih awam, tanpa pernah berpikir skeptis tentang apa yang terjadi di balik penanda itu.