Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Arah Baru Ilmu Falak dan Penentuan Bulan Pasca Muktamar NU di Lampung

Diperbarui: 28 Desember 2021   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan || Sumber Gambar Dreamstime.com.

Hal yang menarik dari Muktamar NU ke-34 kemarin di Lampung bagi beberapa kalangan adalah Bahtsul Masail Waqi'iyyah dan Maudlu'iyyah. Beberapa keputusannya cukup progresif, seperti soal hukum ganti kelamin dan konflik agraria antara warga dan negara.

Namun, di antara itu semua, yang paling menarik perhatian adalah soal posisi ilmu falak dalam metode ru'yah. Pertanyaan utama dalam persoalan ini adalah apakah "imkn al-ru'yah" (possibility of vision) menjadi syarat diterimanya testimoni ru'yah?

Bahtsul Masail Muktamar NU ke-34 mengiyakn hal tersebut. Artinya, jika ilmu falak, berdasarkan perhitungan matematisnya,  Menetapkan bahwa pada tanggal 29 tidak mungkin bulan terlihat  atu visible), maka testimoni yang menyatakan keterlihatan bulan tidak dapat diterima.

Jenis kemungkinan yang dibicarakan dalam konteks persoalan di atas adalah "kemungkinan nomologis", yaitu kemungkinan terjadinya sesuatu di bawah hukum alam tertentu. Dalam diskursus tentang modal, selain ada kemungkinan nomologis, juga ada kemungkinan logis dan kemungkinan metafisik.

Apa yang tidak mungkin secara nomologis belum tentu juga tidak mungkin scara logis atau metafisik. Sebab hukum alam--menurut pandangan sebagian besar filsuf sejak Hume--tidak bersifat niscaya, tetapi kontingen. Artinya, mungkin ada hukum alam yang berbeda dr hukum alam yg berlaku saat ini.

Sebagaimana percontohan: kuda terbang itu tidak mungkin secara nomologis (tidak mungkin menurut hukum alam yang berlaku saat ini). Akan tetapi tidak ada kontradiksi logis saat kita membayangkannya. Karenanya, kuda terbang itu mungkin secara logis dan mungkin ada hukum alam lain yang dapat mengakomodasi kemungkinannya

Hal itu berbeda dengan "segitiga berbentuk persegi" atau "lajang yang punya istri". Kita tidak bisa membayangkan keduanya tanpa terjebak ke dalam kontradiksi logis. Oleh karena itu, di semua dunia mungkin yang lain, tidak mungkin ada "segitiga berbentuk persegi" atau "lajang yang punya istri".

Apa yang menarik dari persoalan di atas adalah bahwa jawaban apa pun pasti akan memiliki implikasi epistemologis pada problem testimoni dan laporan observasi dalam kaitannya dengan kemungkinan nomologis. Hal ini terjadi karena pertanyaan utamanya mengandaikan satu pertanyaan generik:  "Apakah kemungkinan nomologis menentukan kesahihan testimoni dan laporan observasi?"

Denga menjawab pertanyaan di atas secara afirmatif, maka Batsul Masail  Nahdlatul Ulama ke-34 di Lampung tadi berarti mengasumsikan bahwa kesahihan testimoni dan laporan observasi juga ditentukan oleh kemungkinan nomologis. Hal itu berarti jika secara nomologis ditetapkan bahwa A tidak mungkin, maka testimoni atau laporan observasi yang menyatakan bahwa A terjadi itu tidak dapat diterima. Ini pilihan jawaban yang menurut saya menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut oleh para filsuf NU.

Apakah mungkin menjadi filsuf tetapi pada saat yang sama juga menjadi nahdliyin? Jika mungkin, apakah hanya mungkin secara logis atau juga secara nomologis?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline