Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Covid 19, Pertarungan Ide antara Agama dan Sains

Diperbarui: 7 September 2020   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Instagram Komikazer.

Seorang ustadz menyebut virus korona sebagai tentara Allah, tepatkah? Setelah ditelusuri, ia mengacu tafsir Muhammad Abduh (1849-1905), pemikir Islam di Mesir, yang mengartikan burung ababil secara metaforis sebagaia penyakit campak yang menular. Sesuai dengan kandungan QS Al-Fill (Gajah): 1-5, ribuan burung ababil melempari tentara gajah seorang raja Himyar yang menguasai Jazirah Arab pada abad ke-6 Masehi, dengan bebatuan yang panas membara. Mereka luluh lantak sebagaimana dedaunan dilahap ulat tanpa sisa. Misi mneghancurkan Kabah terhenti.

Berdasarkan penafsiran metaforis Abdul yang rasional itu, Ia ingin mengaitkan dengan virus korona. Meski ia mengatakan itu sebagai salah satu kemungkinan tafsir, ia dengan jelas mengiaskan burung ababil itu dengan virus korona dan mengaitkan pemerintah Tiongkok dengan Abrahah yang ingin menghancurkan Kabah.

Serampangan

Patut kita catat bahwa analogi itu serampangan dan tidak tepat. Menafsirkan virus korona sebagai azab itu sungguh gegabah mengingat penularannya dalam skala global saat ini begitu cepat, tanpa mengenal warna kulit dan agama. Umat Muslim pun terkena imbasnya. Bahkan di Indonesia sudah menyentuh angka 150.000 kasus terinfeksi. Kita tidak boleh lengah dan kendor untuk selalu mengikuti protokol kesehatan.

Wabah, yang aslinya dari bahasa Arab, yakni waba', tidak bisa dihindari hanya karena kita beragama tertentu. Mengartikan penyakit dan wabah sebagai azab tak lebih dari ketidakmampuan umat beragama dlaam mengatasi fenomena alam dengan berpikir jernih, rasional, dan membebaskan. 

Alih-alih memberikan pencerahan yang mencerdaskan, pandangan ini membuat agama begitu lemah, pesimistis dan dipenuhi oleh ketakutan. Berislam, khususnya, memiliki kehendak yang kuat untuk penuh optimisme, bahkan memandang suatu penyakit sebagai siksaan di dunia, suatu pandangan umum yang banyak menjakiti pikiran umat beragama saat ini.

Tidak ada salahnya, kita melihat kembali ke abad pertengahan, bagaiamana manusia kala itu bersikap mengenai wabah. Sebelum era kolonialisme di kawasan Mediterania. umat Kristen dan Islam di Andalus dan Afrika Utara memiliki pandangan dan sikap yang berbeda menyoal wabah yang menjakiti saat itu. 

Setidaknya Justin Stearns dalam Infectious Ideas mengurai perbedaan kedua umat beragama dengan jelas dan terperinci melihat dua pandangan komunitas beragama dalam menjaga kesehatan fisik dan rohani masing-masing dalam menghadapi wabah penyakit. 

Wabah bukan sesuatu yang perlu ditakuti dan tidak menjadi bagian dari azab, akan tetapi ditanggapi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni. Tidak meyakini pandangan yang menyebutkan bahwa wabah penyakit tersebut adalah metafora teruntuk hal yang menyimpang dan bermuatan dosa.

Sekali lagi, tidak mengaitkan virus korona dengan azab itu bagian yang paling optimis dlaam menata kembali peradaban yang menhargai ilmu pengetahuan sebagaimana mestinya. Sejarawan  ilmu pengetahuan sudah banyak membahas bagaimana imperium Usmani hingga modern awal, maju dan berkembang dengan ragama pengalaman akan berbagai bencana dan wabah penyakit yang menjangkiti, tidak jatuh teroruk karena pasrah akan azab yang datang silih berganti

Kita relatif mengetahui secuil riwayat nenek moyang kita dengan ragam pemerintahan yang mumpuni dalam menghadapi berbagai wabah. Kita tidak boleh kendor dan menyerah. Kesadaran Umat Islam Indonesia yang bercorak Asy'arian bahwa campur tangan Allah ada dalam segala peristiwa mental dan tubu ragawi, tidak mengahpus peran potensial manusia dalm berusaha. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline