"Jika jadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, kasar, keras, dan fitnah. Periksanalah! Kamu menyembah Tuhan atau egomu?".- Omar Imran
Media sosial dan berita arus utama tidak ubahnya mengarah kepada sebuah bentuk sektariansime, seolah-olah titah Tuhan tidak menyentuh jagad media sosial. Dulu penduduk Arab Pra Islam terjerumus dalam sebuah kezaliaman yang nyata, menyembah berhalan menjadi rutinitas yang mendarah daging. Menghilangkan nyawa dan memperbudaknya menjadi bukti nyata memang mereka terbelakang.
Merekonsiliasi mental para pendukung fanatis untuk meninggalkan polarisasi yang kian melebar menjadi langkah strategis yang mendesak. Sikap sektarianisme yang termanifestasi dalam ucapan dan perilaku, melahirkan kecenderungan untuk memilih data yang mendukung dirinya.
Sektarianisme memutus tali perkawanan dengan ide lain. Sektarianisme tersebut muncul dalam kecenderungan untuk hanya memiliki kawan dan informasi sepihak. Terkadang kita memutuskan memutuskan tali perkawanan kita dengan kelompok yang berseberangan. Kita menciptakan benteng diri dari informasi yang berbeda.
Alangkah naifnya diri, seyogyanya agama menjadi sumber etika malah menjadi pemantik pembeda. Politik identitas dengan bahan bakar narasi picik agama menjadi warna yang dominan dalam kontestasi pemilihan umum yang membelah masyarakat menjadi dua kelompok yang saling menghujat dan lempar hasutan.
Itulah mengapa politisasi agama memiliki daya destruktif yang besar untuk merontokkkan sendi persatuan. Agama sebagai alat baku hantam beberapa agamawan cetek ilmu untuk memproduksi hoaks dan kebencian. Kubu yang satu menyalahkan kecurangan, padahal dirinya yang terus berlaku curang.
Politisasi agama berawal dari kecenderungan masyarakat yang menjurus terhadap spiritualisasi diri dan komodifikasi. Hal ini mengacu pada orientasi ritual spiritual diri, melupakan diri bahwa tujuan utama beragama adalah pengejawantahan nilai-nilai agama dalam urusan dunia dan kemanusiaan.
Keberagaman kita menjurus pembelahan diri dan terkotak-kotak walaupun bermasyarakat majemuk. Tanpa memahami iman tetangga, komunitas agama yang hidup di masyarakat majemuk tidak dapat memahami dirinya sendiri.
Komodifikasi agama atau yang kita kenal bahwa agama menjadi citra dari bisnis yang dirintis. Hal ini bisa kita temukan dalam produk kosmetik, kapitalisasi bisnis hijab, maraknya labelisasi halal dari produk yang ditawarkan tentu memiliki segi positif yang diambil, namun sebagai catatan bahwa semangat agama yang menggebu seringkali menjadi ladang empuk penipuan dari perusahaan.
Beberapa tantangan yang menjadi bahan perenungan bersama pasca-pemilu ialah menata kembali tatanan masyarakat yang tercabik dan terpolarisasi, saling menghujat jati tontonan sehari-hari di beranda media sosial kita. Saling menafikan dan bermusuhan-musuhan.