Bagi pengajar di perguruan tinggi, dari dosen, professor apalagi professor, niat menulis yang semata ditujukan agar terindeks oleh Scopus akan condong menempuh sagala cara untuk menembusnya. ~
Oman Fathurahman
Menulis karya ilmiah dan riset haruslah menjadi bagian dari komitmen sebagai akademisi untuk mengembangkan keilmuan yang ditekuni, menjadi cendekiawan sejati dan kredibel memang tidak instan. Menumpas akdemisi instan menjadi hal yang perlu digalakkan, perlu sebuah master plan yang sangat panjang untuk membuat budaya riset.
Kasus pemalsuan karya tulis dan ijazah beberapa rektor di Indonesia menjadi pil pahit yng harus ditelan oleh intitusi perguruan tinggi negeri maupun swasta. Apalagi dengan ijazah tersebut mengantarkan yang bersangkutan memperoleh predikat professor dan menikmati tunjangan kehormatannya. Hal ini tentu tidak seharusnya menjadi perkara kecil dan tidak bisa ditolerir. Karena menyangkut intregitas diri dan institusi yang telah mengangkatnya.
Persoalan ini juga menguakkan fakta bahwa ada sebuah salah tafsir atas kebijakan kementerian dan pimpinan perguruan tinggi juga turut andil mendoroang akademisi kampus untuk mengejar peningkatan karier akademik dengan menjadi cendekiawan instan.
Sebagian besar dosen dan professor di perguran tinggi berangggapan peraturan Menristek dan Dikti nomor 20 tahun 2017 dianggapnya menjadi batu loncatan untuk mendapatkan pundi pendanaan dan pemberian tunjangn bagi para pengajar di perguruan tinggi.
Kisaran tunjangan seorang dosen dengan pangkat lektor kepala baru akan diberikan jika ia bisa paling sedikit 3 karya ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal nasioanal terakreditasi atau paling tidak 1 karya ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal internasional, atau karya seni monumental dalam kurun waktu 3 tahun. Begitu pula dengan mereka yang sudah bergelar profesor dalam bidang tertentu.
Kemenristekditi memberikan definisi dari jurnal internasional sebagai publikasi yag terindeks oleh lembaga pemeringkat, seperti Scopus baik dalam bentuk prosiding atau jurnal.
Sanksi yang diberikan oleh pihak terkait adalah pemberhentian tunjangan profesi atau kehormatan senilai 25 persen sampai pihak yang disanksikan memberikan karya tullis. Seberapa siapkah para pengajar perguruan tinggi menerima tantangan ini.
Peraturan Menristek dan Dikti nomor 20 tahun 2017 sebenarnya digoalkan untuk mendorong kinerja pengajar di perguruan tinggi terkhusus dalam ranah publikasi ilmiah dan penelitian. Angka dari jumlah artikel ilmiah para akdemisi di Indonesia per 2018 masih terbiang jauh dari ambang normal.