Perilaku Sandiaga Uno memang terkadang nyeleneh dari liyan, sebut saja kemaren ketika acara Haul di Solo. Tak terkecuali dalam ranah ekspresi beragama, sebut saja cara berwudhu.
Cara berwudhu Sandiaga Uno yang mencelupkan tangan beberapa kali ke dalam gayung yang berisi air. Cara berwudhu seperti itu mengundang dan memicu perdebatan publik karena dipandang publik tak biasa di kalangan muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab syafii. Namun apakah dalam ranah syariah ekspresi beragama seperti itu memiliki acuan dalam ranah fiqih bersuci.
Cara berwudhu Sandiaga Uno dipandang publik sama halnya menggunakan air mustamal dalam berwudhu, artinya tidak sah juga wudhu dan sholatnya. Para ulama fiqih mayoritas menyebut air mustamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci, baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci tersebut bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan.
Air mustamal tentu berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bisa kita bilang bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu atau mandi besar. Air bekas sisa cuci tangan tanpa niat wudhu dan mandi besar satusnya tetap masih air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan artinya air tersebut tidak mustamal dikarenakan tidak diniatkan untuk keperluan wudhu dan mandi besar.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah masih diperbolehkan menggunakan air mustamal untuk berwudhu dan mandi besar lagi? Dalam permalahan ini, Para ulama mazhab fiqih mayoritas berbeda pandangan masalah fiqih bersuci ini. Perbedaan pandangan itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima, bukan dari beda pilihan politik semata. Kalau ada golongan yang gagap akan tersebut tentu karena kurang piknik dan kopinya kurang pahit.
Mari kita kupas satu demi satu pandangan imam mazhab fiqih tentang penggunaan kembali air mustamal. Imam Mazhab Hanafi berpandangan bahwa air mustamal adalah air yang membasahi anggota wajib bersuci saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah, air tersebut langsung memiliki status hukum mustamal saat menetes dari gota wajib bersuci sebagai sisa wudhu atau mandi besar.
Kemudian air yang masih dalam penampungan tidak menjadi air mustamal, status hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan maksudnya air tersebut tetap suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu atau mandi besar. Imam Mazhab Maliki senada dengan pendapat Imam Mazhab Haanafi dalam pengertian air mustamal.
Namun ada titik perbedaan dalam penggunaan air mustamal kembali untuk berwudhu dan mandi besar. Air mustamal menurut imam Maliki tetap suci dan mensucikan maksudnya air tersebut bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu atau mandi besar selama air tidak berubah zatnya.
Hal inilah yang digunakan acuan tatacara berwudhu Sandiaga Uno dan ibadah mahdhoh lainnya. Dalam berekspresi dan berpandangan fiqih kita dituntut harus konsisten, tidak bisa pindah sesuka hati mengikuti yang enak-enaknya saja dikarenakan ada konsekuensi hukum logis yang harus dipenuhi.
Dalam pandangan Imam Mazhab SyafiI sebagaimana diikuti mayoritas muslim Indonesia bahwa air mustamal adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam berwudhu dan mandi besar. Termasuk juga dalam air mustamal dalam pandangan Imam Syafii air mandinya orang Muallaf, mandinya mayit dan mandinya orang yang sembuh dari gila, air tersebut baru digolongkan dikatakan mustamal jika sudah terlepas dan menetes dari tubuh manusia.