Ibuku di kampung memiliki jadwal rutin membersihkan barang-barang tak terpakai yang sengaja dikumpulkan dan telah menumpuk di sudut rumah.
Bagaimana cara membersihkannya? Dibuang ketempat sampah atau ke sungai? Tidak. Dibakar di pekarangan? Bukan itu jawabannya. Barang yang sudah tidak terpakai itu diserahkan kepada tukang kebersihan. Tukang kebersihan biasanya akan lewat keliling kampung setiap seminggu sekali.
Menggunakan sepeda kayuh dengan keranjang bambu berisi barang bekas di bagian kanan dan kerupuk di bagian kiri, tukang kebersihan menyuarakan bunyi-bunyian yang menjadi pertanda kehadirannya. Ibu sudah hafal betul, di hari apa harus mempersiapkan barang bekasnya.
Wujudnya beraneka ragam, mulai dari baskom plastik yang sudah pecah, botol sirup lebaran tahun lalu, hingga sepatu yang sudah berlubang di bagian jempol pun menjadi barang incaran tukang kebersihan.
Dari barang bekas tersebut, bukan uang yang akan didapatkan oleh ibu itu, melainkan kerupuk. Tidak ada timbangan, tidak ada takaran, atau pun ukuran tertentu untuk menilai barang bekas tersebut. Baik tukang kebersihan maupun ibu bisa saling memahami hingga mencapai kata sepakat, seberapa banyak kerupuk yang akan menjadi teman makan siang bersama anak dan suaminya.
Tidak ada yang merasa dirugikan. Kalaupun ada yang merasa jengkel, pastilah para tukang kebersihan ketika berhadapan dengan ibu yang ceriwis dan ngotot minta tambah kerupuk. Tapi tak masalah. Baginya, hal yang paling penting ialah ibu itu mau menjadi langganannya.
Unik memang, di awal milenium kedua waktu itu, mungkin itulah satu-satunya transaksi ekonomi yang masih menggunakan sistem barter di tengah peradaban yang sudah modern. Sekarang kita tidak lagi dijumpai tukang kebersihan seperti itu. Entah apa penyebabnya. Mungkin ibu sudah tidak doyan lagi makan kerupuk hasil barter kebersihanan.
Bisa juga tukang kebersihan telah mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak. Atau mungkin ibu tidak lagi memiliki barang bekas yang bisa ditukarkan.
Jika melihat lebih jauh, bukan hanya tukang kebersihan yang lenyap dari perkampungan. Keakraban ibu ketika bercengkerama menunggu kedatangan tukang kebersihan ikut menghilang. Pandangan sederajat terhadap tukang rosok, pemulung, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan sampah juga mulai berubah.
Pekerjaan yang sebenarnya mulia itu dianggap hina, pekerjaan rendahan. Padahal pekerjaan mereka begitu mulia, memilah dan membersihkan sampah hasil dari kemalasan masyarakat dalam mengolahnya.