Sapardi Joko Damono, Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini telah menulis buku puisi dan fiksi. Diantara buku puisinya antara lain Mata Pisau (1974), Akuarium (1947), duka-Mu abadi (1979). Beberapa buku fiksi seperti, Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), Sup Gibran (2011). Dan masih banyak lagi karya-karya sastranya yang luar biasa. Hari ini tanggal 18 Juli 2020, dia berpulang dan meninggalkan karya-karyanya.
Novel karya Sapardi Hujan di Bulan Juni patut dan menarik untuk dibaca. Jika dilihat dari judulnya, bulan Juni adalah bulan musim kemarau di Indonesia. Kenapa hujan?
Karena saat Sarwono masuk rumah sakit pada bulan Juni sehingga membuat sang kekasihnya, Pingkan, menangis. Terlebih mengetahui puisi Sarwono tentang dirinya yang dimuat di koran. Tangisan Pingkan diibaratkan hujan pada bulan Juni yang kering.
Sarwono, pria keturunan suku Jawa dan telah menjadi dosen muda ini bertemu Pingkan pertama kali di rumah sahabatnya. Pingkan adalah mahasiswa lulusan UI dan akan berangkat ke Jepang. Ia adik Toar Pelenkahu, teman SMA Sarwono. Keluarga Pelenkahu, sebutan untuk keluarga Toar, adalah keluarga keturunan Menado.
Walaupun berbeda suku, Sarwono dan Pingkan tak merasa ragu untuk menjalin hubungan khusus.Sarwono sendiri adalah lelaki pencinta sastra. Sudah banyak puisi-puisi yang dia tulis, dan ketika puisi tersebut dibaca oleh Pingkan, Sarwono selalu saja dihadiahi julukan cengeng oleh wanita yang dicintainya.
Keduanya berbeda keyakinan, Sarwono seorang Muslim sedangkan keluarga Pingkan adalah penganut Kristen. Keluarga Pingkan tak mempermasalahkan perbedaan tersebut, bahkan mereka mendukung hubungan keduanya. Alasannya karena ibu Pingkan sendiri ternyata keturunan Jawa. Ayah Sarwono pun menyerahkan keputusannya di tangan Sarwono.
Saat Pingkan di Jepang, Sarwono mengalami sakit paru-paru basah dan masuk rumah sakit. Padahal, mereka akan melangsungkan pernikahan setelah Pingkan pulang dari Jepang. Saat Pingkan di Jepang, Sarwono mengirimkan beberapa puisi ke surat kabar Swara Keyakinan.
Keberuntungan memihak kepadanya, puisinya dimuat di koran tersebut. Belum sempat memberi tahu Pingkan, Sarwono kritis di rumah sakit karena penyakit yang di deritanya.
Kasih sayang tidak bisa dilukiskan dengan kata sekalipun sabda, bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya diperbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun berakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah kitab suci yang tersirat.
Bahwa kasih sayang beriman pada senyap. Kasih sayang tidak dapat didefinisikan semudah orang berbicara tentang percintaan. Kisah Sarwono dan Pingkan membuktikan hal itu dalam novel ini.