Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Berselisih dengan Buya Hamka

Diperbarui: 15 Desember 2018   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buya Hamka ~ Ilustrasi : Twittet Muhammadiyah

Seharusnya diri kita dan tokoh agama negara ini bisa mencontoh keulamaan seorang Buya Hamka. Tokoh Nasional yang menghasilkan karya Tenggelamnya Kapal Vender Wijk dan Tafsir Al-Azhar. 

Seorang sosok yang paling ideal untuk dijadikan panutan dalam urusan toleransi antara pendapat keagamaan. Seperti yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, meski beliau boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang anti qunut. Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama betawi, KH. Abdullah Syafii, tokoh ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah. 

Ada sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafii mengunjungi Buya masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan.
Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafii yang naik menjadi khatib Jumat. Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. 

Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya. Ini luar biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi.

Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal.Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafii, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah, yang umumnya kiyai betawi hari ini adalah murid-murid beliau.

Bahkan Buya Hamka sebagaimana penuturan anaknya itu ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar kala itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat. Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas.

Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes. Sebaliknya, mereka yang suka meributkan masalah khilafiyah, biasanya merupakan sosok yang kerjanya memang sekedar cari-cari perbedaan, dan umumnya mereka memang suka sensasi. 

Prinsip mereka, apapun yang sekiranya bisa memviralkan diri atau orang yang didukung, akan dilakukan. Walau pun terkadang kepala mereka tidak ada isinya. Apa yang keluar dari mulutnya hanya jiplakan tanpa dasar dan didekte  dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline