Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Hamsad Rangkuti dan Bekas Bibirnya

Diperbarui: 20 November 2018   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hamsad Rangkuti dan Karyanya. || Sumber gambar: Diva Press

Hamsad- begitu kita mengenal pelamun yang menulis novel Ketika Lampu Berwarna Merah dan cerpen Sukri Membawa Pisau Belati.

Ia adalah penulis kelahiran Titikuning, Medan, 7 Mei 1943, ia setara dengan Danarto, Umar Kayam, AA Navis, dan Ahmad Tohari. Hamsad pernah memenangkan sayembara penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980 an. Saya mengenal Hamsad dari cerita pendeknya, selain dua judul tadi, Hamsad juga menelurkan Rencong,

Lagu di Atas Bus, Muntah dan tentu tak lain Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu yang begitu populer. Dari judul terakhir mengilhami grup band Samntha untuk membuat judul lagu Bibir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa Hamsad mampu memanikan perannya. Dari sekian judul cerpennya rata-rata adalah hasil dari lamunannya.

Dari karyanya, kita bisa melihat bahwa Hamsad tidak terlalu ambisius dengan mencari tehnik baru dalam pemabaharuan bentuk. Contohnya dari cerpen sukri miliknya, Hamsad coba menggambarkan dan memperlihatkan tehnik bercerita dimana struktur ceritanya dibangun atas cerita yang diulang-ulang dan membuat efek surealis.

Kita juga bisa melihat cerpen darinya yang cenderung bergaya realisme misalnya Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000) dan Bibir dalam Pispot (2013). Hamsad mencoba menviusalisikan setiap kejadian yang bersifat seni dengan Perincian yang detail.

Ia selalu mencoba merokontruksi kejadian dari pengalaman empiris yang dialaminya sehari-hari. Cerpen Hamsad tak mengagungkan tehnik penulisan menjadi terasa klasik dan nampak sederhana, namun dengan kesederhaaan, kita setelah membaca tuntas akan merasakan keistimewaan di setiap karyanya.

Cerita sederhana yang Hamsad tampilkan mampu menjadi istimewa karena ia bisa memunculkan peristiwa yang tampak sederhana menjadi kejadian yang tidak terduga dan terasa mengejutkan. Ia menuliskan keadaan orang yang termarjinalkan yang tersingkir dari pergulatan kehidupan. Namun ia mampu menghadirkannya dari sisi yang unik dan terkadang ironis.

Kisah yang ia tampilkan tidak sampai ke melodrama, namun ia berupaya mendalami karakter tokoh dan tema yang disajikan. Ceritanya tidak melulu berbasis kulit, namun masuk dalam isi dengan khas imajinasi yang begitu liar dan orisinil.

Sastra dalam pandangan Hamsad menvisualisasikan dunia begitu sederhana dan bersahaja, namun rasanya begitu ganjil dan ironis. Misalnya dalam cerpen muntah yang berkisah tentang tokoh Wien dan Aku. Tokoh Wien yang selalu muntah, tokoh aku selalu menampung muntahan itu dengan tangang aku. Ada tragedi dan ironis di setiap cerita pendeknya.

Hamsad yang dikenal sebagai pelamun di tengah keriuhan sastra. Ia memilih sunyi dalam kerumunan sastrawan. Di tengah kesunyian ia telah menorehkan prestasi, ia pernah mendapatkan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001), Khatulistiwa Literacy Award (2003), Southeast Asian Writers Award (2008), dan Penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni (2014). Namun Hamsad menghembuskan nafas terakhir 26 Agustus 2018 lalu, mungkin ia sedang melamun di kuburnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline