Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Laku Sederhana ala Pram

Diperbarui: 21 Agustus 2018   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang yang tak pernah mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain. Pramoedya.

Yang aku pikirkan saat ini hanya ingin menjadi orang yang terbaik bagi hidup ini. Aku tidak dapat mengaji banyak hal: tentang ilmu pengetahuan, tentang ilmu membuat kapal atau bahkan membawa orang terbang ke negeri seberang. Yang aku dapat hanya mengajari arti kehidupan.

Aku tidak pernah bermimpi menjadi pembicara ulung di hadapan ribuan orang. Karena pekerjaan itu membutuhkan persiapan matang,  mulai dari mental, materi dan kebiasaan. Sedang aku telah tidak terbiasa melihat hidup kecuali dengan perasaan.

Aku tidak ingin begitu tenar sekalipun kehidupan telah mengajak orang mencari ketenaran. Walaupun di satu sisi ia menjadi pendulang untuk meraih segala hal  yang bersifat material, namun disi lain ia akan menjadi beban berpotensi menebar kemunafikan. Aku hanya ingin menjadi penebar kearifan di semua lokal, di sana langkahku menginjakkan.

Hidup itu pada dasarnya sederhana: makan, minum dan mengeluarkan kotoran. Setelah itu akan datang kematian. Benar kata salah seorang sastrawan Indoensia Pramodya Ananta Toer, "Hidup itu sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya". 

Kita hanya butuh penghayatan tentang makan dan minum dan kotoran yang kita keluarkan  setiap saat. Dari mana, untuk apa dan bagaimana selanjutnya. Istilah yang hampir serupa dengan kajian filosofis; ontologis, aksiologis dan epistimologis. Memahami tentang hakikat untuk kemudian menjadi laku yang metodis.

Sayang, kehidupan ini telah menjadi teoritis. Banyak diukur secara matematis, dan mendapatkannya pun tak boleh keluar dari lingkaran bentukan komunis. Hidup manusia menjadi semacam mesin dengan tombol-tombol penggerak. Manusia terpenjarakan dari oleh kebebasaan yang dibangunnya sendiri.

Kerumitan telah menjadi tafsir dari kemudahan itu sendiri, yang justru manusia harus mengernyitkan dahi untuk sampai pada pemahaman, mengeluarkan banyak biaya untuk mengetahui, lebih-lebih mengorbankan nyawa yang tak berdosa. 

Kesadaran dilacurkan hingga kita akan menilainya sebagai sebuah perkembangan. Sementara kekuatan intuitif telah dijual dengan sangat murah untuk kehidupan yang kita sebut kemajuan.

Inilah perlunya disini kita kaum menoritas berkumpul, mempersiapkan langkah untuk melawan walau sejatinya kekuatan itu telah begitu besar untuk orang-orang sekecil kita. Atau setidaknya kita mengenalkan bahwa kita pernah menjadi bagian dari dunia ini. Atau paling tidak kita menangisi dan mengubur nasip kita bersama-sama. Kematian akan segera datang menjemput jika kita benar-benar telah menginginkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline