Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Benarkah Cinta Itu Penderitaan Tanpa Ujung

Diperbarui: 20 Agustus 2018   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta merupakan sesuatu yang sangat akrab bagi kita, terutama di kalangan remaja, namun keakaraban kita terhadap sesuatu yang namanya cinta ini tidak mampu membuat kita semua tahu atau mengerti apa sebenarnya cinta. 

Cinta adalah sesuatu yang unik, karena cinta adalah satu-satunya hal yang di dalamnya terkandung sekaligus dua hal yang saling berlawanan. 

Cinta adalah sumber kebahagiaan, dengan cinta manusia bisa merasakan kebahagiaan yang bahkan membuat gula jawa berasa seperti coklat. Namun, karena cinta pula manusia bisa merasakan penderitaan yang tiada akhirnya. Dalam bait puisinya Kahlil Gibran mengatakan: Sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu. Sebagaimana cinta ada untuk pertumbuhanmu, demikian pula ia ada untuk memangkasmu.

Keunikan dan kemisteriusan cinta ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Abdul Mujib, menurutnya cinta itu sangat sulit untuk dikatakan, apalagi didefinisikan, karena apabila hal itu dilakukan maka akan membatasi ruang lingkup cinta itu sendiri. Sebenarnya, masih menurut Abdul Mujib, setiap orang dapat merasakan cinta, tetapi tidak ada jaminan kalau setiap orang mampu untuk mengungkapkannya dalam bahasa verbal.

Secara etimologis, kata cinta berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu citta, yang berarti senang, kasih, yang selalu dipikirkan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia cinta berarti ingat, memikirkan, atau membayangkan. Dalam bahasa Indonesia terdapat padanan kata cinta, yaitu asmara, yang merupakan kata benda yang biasa diartikan sebagai perasaan senang kepada lawan jenis. Cinta juga merupakan terjemahan dari bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, love, dan bahasa Arab, hubb atau mahabbah.

Sedangkan pengertian cinta secara terminology dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu tasawuf, filsafat, dan psikologi. Ditinjau dari sudut pandang tasawuf, menurut Syah Nikmatullah, cinta adalah penghubung atau pengikat antara kita (manusia) dengan-Nya (Tuhan). Jadi, cinta adalah pengikat, penghubung, laluan, (atau) tangga naik menuju tauhid. Di mana saja cinta menjelaskan bahwa yang pantas menjadi tujuan hanya satu, yaitu kemutlakan dan kebenaran yang Haqq.

Menurut al-Ghazali cinta adalah suatu kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, benci adalah penghindaran tabiat dari perkara yang menyakitkan dan memberatkan.

Sedangkan menurut Yahya bin Muadz, sebagaimana dituturkan oleh Imam Qusairy al-Naisabury, hakikat cinta adalah bahwa ia tidak akan berkurang manakala seseorang mngalami kekeringan, tidak pula bertambah jika ia disuguhi kebaikan. Menurut al-Harits al-Muhasiby cinta adalah kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian engkau mengutamakan pada-Nya dibanding dirimu, jiwamu, dan harta bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengan-Nya, baik secara lahir maupun batin, kemudian menginformasikan atas kekuranganmu dalam mencintai-Nya.

Pendek kata, cinta dalam perspektif tasawuf adalah memalingkan diri dari selain sang Khaliq dan mengisinya dengan harapan-harapan akan keridhaan-Nya.

Adapun cinta dalam perspektif filsafat, menurut Plato, adalah kekuatan universal dalam alam. Menurutnya segala kebaikan turun dari sang baik lewat alam idea sampai ke alam inderawi, begitu pula manusia, dapat naik dari cinta jasmani lewat cinta rohani sampai pada tujuan segala cinta yang sekaligus asal-usul ketertarikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline