Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Mati Suri Demokrasi dan Hak Ahmadiyah yang Diabaikan

Diperbarui: 14 Agustus 2018   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Primadona demokrasi itu bernama rakyat. Tetapi, kata Goenawan Muhammad (2005), penulis Caping yang kesohor itu, rakyat telah mengandai menjadi makhluk mitologis.

Ia adalah kata, "sosok", "subjek" yang terus diperjuangkan dan selalu diajak bercumbu dalam koridor-koridor negara yang (dianggap) demokratis, adil, dan lebih-lebih ia juga dibela, tetapi di sisi lain rakyat menandai "ketidakjelasan" akan sesuatu yang diperjuangkan dalam demokrasi. Meski begitu, Abraham Lincoln tetap berucap manis, "Democracy is government by the people, from the people and for the people."

Bagi saya, "rakyat" tidak mungkin bisa didefinisikan secara sempurna; karena yang dituai pasti sebuah kontradiksi. Namun yang nampak, ia selalu mewakili subjek yang "tertindas" dan "kalah". Mereka yang menjadi korban Lapindo adalah rakyat. Karyawan yang di-PHK secara sepihak adalah rakyat.

Mereka yang berdemo menuntut penurunan harga BBM, bahan pangan, susu, dan lain-lain adalah rakyat. Hingga pada akhirnya ---rakyat selalu seolah mereka yang tak bosan untuk menuntut.

Rakyat dan demokrasi ---dua kata itu- menjalin gerakan zig-zag dan atraktif; kadang mereka mesra, dan terkadang tak harmonis. Kemesraan itu ada karena subjek yang satu menuntut kebebasan dan yang lainnya menawarkan kebebasan bahkan melembagakannya. Sementara ketidakharmonisan ---tanpa disadari- membenturkan keduanya dalam relasi mayoritas dan minoritas yang lunak.

Mari kita berandai-andai: tidakkah demokrasi memberikan kebebasan memilih kepada rakyat? "Ya". Lalu, ada 100% rakyat yang bebas memilih; A sebesar 52%, dan B sisanya 48%. Dapatkah 52% itu kita ukur sebagai mayoritas? Tidak, kalau saja demokrasi itu memuat konstitusi yang secara tegas "menyamakan" hak yang sama bagi setiap warga negara. Tapi kenyataan ini nampaknya terlalu ideal.

Demokrasi justru mewartakan keberadaan mayoritas sebagai "pemenang" dan yang lain "tertindas". Tidak semua orang yang mengidentifikasi diri sebagai rakyat mendapatkan kebebasan dalam demokrasi karena ia membelah diri dalam mayoritas-minoritas.

Kalau saja pengandaian itu kita lakukan secara ekstrim, maka demokrasi boleh jadi hanya mewakili kepentingan mayoritas. Demokrasi tidak butuh suara bulat, tetapi hanya suara terbanyak atau mayoritas (Thomas Hobbes: 1996). Dan sebagai mayoritas, ia sangat berpotensi mengatur laku demokrasi dan memegang kekuatan ideologis sebagai yang "benar" dan legitimate.

Warga Ahmadiyah yang secara kuantitas kecil ---yang notabene juga rakyat- yang diserang oleh ekstrimis Islam adalah bukti tidak nyamannya kebebasan "memilih" itu.

Demokrasi kita berjalan di atas kuasa "mayoritas" ---baik secara kuantitas dan kualitas- dengan memberikan sedikit ruang bagi yang minoritas; sosial, politik, agama, budaya, dlsb. Kalaupun Ahmadiyah dianggap "sesat", tidakkah pencitraan itu juga melalui diskursus ideologi yang dikendalikan oleh "mayoritas"? Jika jawaban itu "iya", maka kita sebenarnya tidak pernah lepas dari jejaring kolonialisme!  

Hak individu

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline