Lihat ke Halaman Asli

Haris Fauzi

Pembelajar

Bagaimana "Konflik" Menjadi Perekat Persatuan

Diperbarui: 20 Agustus 2018   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Caknun dan Presiden Jancuker dalam acara Milad Gus Mus di Semarang beberapa waktu lalu.

Suatu ketika saya sholat jama’ah maghrib dan sudah berjalan satu raka’at. Tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya masuk, ikut shalat jama’ah di sebelah saya. Tapi ada yang tak beres dari bapak ini, dengan gerak cepat beliau menyalip imam dan para jama’ah. Menambah satu raka’at yang tadinya sudah tertinggal dari imam sehingga nanti salamnya akan bareng imam.

Wah, sholat saya jadi kacau memikirkan tetangga shaf saya ini. Kok persis yang saya pernah lakukan kala kelas 1 SD dulu. Ada beberapa spekulasi yang nampak di benak saya, mungkin bapak ini ikut satu aliran baru, atau baru masuk islam atau memang karena belum tahu tata cara sholat. “Okelah, nanti setelah selesai sholat saya akan bertanya kepada bapak satu ini” pikir saya.

Setelah salam, sedikit curi-curi pandang bapak itu saya amati. Dari pakaiannya beliau sepertinya bapak-bapak pedagang kaki lima yang baru mangkal di gang kami.

Tapi saya ragu, jangan-jangan bapak ini nanti tersinggung, dikira saya sok menggurui atau sok tahu. Berdakwah saja mungkin mudah, tapi bil hikmah-nya yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Setelah jama’ah selesai berdzikir dan mushalla mulai sepi, dengan memberanikan diri saya lempar senyum kepada bapak ini. Beliau pun membalasnya, wah ini pertanda baik.

Hal Baik Perlu Disampaikan dengan Cara Baik Pula

Saya dekati bapak itu dan saya ulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“Assalamu’alaikum pak! Baru ya disini?” tanya saya mengawali perbincangan lepas maghrib kala itu.

“Iya Aa’.” Oh, bapak ini ternyata orang sunda. “Baru hari ini jualan siomay di gang sini, sekalian mampir untuk sholat maghrib”.

“Oh, iya pak! Tadi sholatnya sepertinya ketinggalan satu raka’at ya?” tanyaku. “iya, tadi ketinggalan satu”

“hmm, tapi maaf nih sebelumnya pak. Sepengetahuan saya selama belajar cara sholat, kalo ketinggalan satu raka’at itu cara nambahinnya kok bukan didepan ya pak? Tapi di belakang setelah imam salam!”. Kataku dengan nada diperhalus, takut bapak ini tersinggung. Memang sesuatu yang benar juga harus disampaikan dengan yang benar pula.

“Oh, emang begitu ya aa’?. Maaf, saya belum tahu tata cara sholat yang benar.” Ternyata bapak ini memang belum tahu tata cara sholat dengan benar. Syukurlah beliau tidak tersinggung. Sampai akhirnya diskusi panjang malam itu berlanjut membahas mengenai bagaimana sholat sampai berkumandang adzan isya’.

“Terima kasih ya aa’! Dari dulu saya ingin belajar agama seperti ini. Tapi belum nemu-nemu juga. Banyak yang tahu tapi tidak mau membagi dengan yang belum tahu kayak bapak ini”. Kata bapak itu menyudahi perbincangan.

Stop Saling Tuduh

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline