Lihat ke Halaman Asli

Haris Herdiansyah

penulis adalah dosen tetap fakultas humaniora, President University, peneliti sekaligus penulis buku Metodologi Penelitian Kualitatif.

Kebodohan dan Perilaku Korupsi

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Barangkali kita sepaham bahwa para pelaku korupsi sebagian besar adalah kaum terdidik alias well-educated. Hal ini diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan oleh McGreen pada tahun 2012 yang memetakan bahwa komposisi koruptor yang terindentifikasi di negeri tercinta ini, hampir sembilan puluh persen adalah kaum terdidik dimana dari persentase tersebut, lulusan S1 sebanyak lima puluh tujuh persen, lulusan S2 sebanyak dua puluh enampersen, dan sisanya tujuh belas persen adalah lulusan S3, sehingga tak mengherankan jika muncul premis miring bahwa perguruan tinggi dianggap produktif dalam mencetak koruptor. Dan yang tak kalah menariknya, sebagian dari koruptor tersebut adalah praktisi yang ahli di bidangnya. Dari pernyataan tersebut, dapat diindikasikan bahwa secara kognitif mereka adalah orang-orang pandai, dan kapasitas intelektual tidak perlu diragukan lagi.

Sering kita dengar slogan “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan...”. Bagi kaum cerdik pandai, kesempatan bukan terjadi karena faktor kebetulan, tetapi merupakan sesuatu yang dapat diciptakan. Kepandaian dan keahlian, bertemu dengan kekuasaan dan situasi yang mendukung, akan mampu melahirkan kesempatan. Kesempatan ini akan memiliki dua simpangan, yaitu kesempatan yang mengarah kepada kebaikan dan mengarah sebaliknya. Beberapa variabel yang dapat mengarahkan kesempatan kearah tertentu adalah sikap, nilai, dan integritas personal. Berdasarkan pernyataan diatas, jelas sudah bahwa kemampuan dan kapasitas kognitif seseorang menjadikan kesempatan dalam mencapai tujuan menjadi semakin logis, sederhana, dan terbuka. Pun jika tujuan tersebut adalah melakukan perilaku korupsi.

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tidak well-educated? Orang-orang yang kurang cerdas secara intelektual, mampukah mereka terlepas dari perilaku korupsi? Atau mungkinkah mereka sedikit jauh dari lingkar korupsi orang-orang well-educated? Ini menjadi pertanyaan tantangan untuk kita analisis. Saya tantang dengan pertanyaan sederhana;

andaikata anda adalah orang dengan pendidikan rendah, bukan bagian dari kelompok well-educated sementara anda memiliki jabatan yang cukup berpengaruh dan anda adalah seorang anggota dewan perwakilan rakyat di sebuah daerah yang agak terpencil di negeri ini. Kemudian negara ini meng-amanahkan dana milyaran rupiah untuk anda kelola dalam membangun daerah anda. Apa yang akan anda lakukan dengan uang sebanyak itu?

Barangkali hal yang akan menyelamatkan amanah itu adalah sikap dan nilai positif serta integritas yang anda miliki. Tetapi kali ini, kita tidak sedang menyoroti sikap, nilai, dan integritas personal. Lantas bagaimana dengan kapasitas intelektual anda? Mampukah anda berpikir mendalam dan komprehensif untuk menciptakan sistem atau rencana jitu untuk mengelola uang amanah tersebut? Anda akan dibuat bingung dengan amanah tersebut.

Pendidikan salah satu fungsinya adalah untuk mengasah kemampuan dan daya nalar seseorang untuk mampu berpikir kausal, holistik, dan komprehensif yang dengannya, seseorang mampu menciptakan rencana jangka panjang yang terstruktur dan terukur, menciptakan solusi dan melakukan prediksi atas apa yang akan terjadi kemudian. Orang-orang well-educated akan meyakinkan orang lain dengan pemikirannya. Sementara orang-orang yang kurang well-educated akan meyakinkan orang dengan afeksinya, sehingga memunculkan prinsip“asal bapak senang”, “asal juragan happy, dan sebagainya. Demi menjadikan bapak senang dan juragan happy, penyuapan dan gratifikasi biasanya salah satu solusinya.

Esensi dari ilmu pengetahuan adalah kesederhanaan. Kesederhanaan yang dimaksud adalah segala permasalahan yang dihadapi serumit apapun berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki akan terlihat sederhana untuk diurai dan dicari solusinya. Kebodohan menjadikan manusia sulit menciptakan solusi karena keterbatasannya. Kebodohan menjadikan sesuatu rumit untuk dipecahkan dan memaksa orang untuk mencari solusi ditengah kekalutan dan kebingungan atas apa yang harus diperbuatnya. Dan jika kesempatan bertemu dengan kondisi ini, sudah barang tentu bukan solusi yang didapat melainkan serangkaian manipulasi untuk menutupi keterbatasan dan kebodohannya asal “bapak tetap senang”.

Miris untuk dibayangkan andaikata negara ini dipimpin oleh wakil-wakil rakyat yang bukan orang-orang yang well-educated. Ketika mereka dipaksa untuk berpikir dalam memajukan bangsa dan mencari solusi dari permasalahan bangsa ini, apa yang bisa diharapkan dari mereka sementara kekuasaan dan amanah terlanjur diserahkan ke pundak mereka? Sesuatu yang bernilai positif, ketika jatuh di tangan orang yang tidak capable, bukan saja dapat menjadi negatif, tetapi lebih jauh dapat menjadi petaka.

2014 akan menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini karena di tahun ini, akan ada pesta demokrasi dimana para wakil rakyat akan dipilih untuk mengemban amanah dari bangsa ini. Bukan hanya cita-cita dan harapan dari para pendiri bangsa ini yang dititipkan, tetapi jabatan, materi dan kekuasaan juga akan kita diamanahkan kepada mereka yang terpilih untuk dikelola demi kemajuan bangsa. Menjelang pesta demokrasi bangsa ini, mari kita lebih selektif dalam memilih wakil rakyat dimana harapan dan amanah kita titipkan kepadanya. Bijaksana dalam memilih, adalah solusi cerdas bagi kita sebagai orang-orang terdidik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline