Lihat ke Halaman Asli

Prabowo Perlu Banyak Belajar dari SBY dalam Manuver Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak dimulainya kampanye pileg 2014 tiga minggu yang lalu perang kampanye antarpartai mulai terbuka termasuk antarkandidat capres. Perang kampanye itu dilakukan baik secara terselubung maupun terang-terangan menyerang lawan politiknya. Dan di antara yang paling terbuka melakukan serangan itu datang dari ketua dewan pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga telah lama maju sebagai capres ini terlihat sangat emosional menanggapi pencalonan Jokowi oleh PDIP. Prabowo yang sejak dua tahun konsisten di peringkat pertama survey capres ini memang merasa was-was sejak ada wacana pencapresan Jokowi karena menurut srvey Jokowi akan menggerus posisi Prabowo dari peringkat pertama capres menurut survey

Dan kegeraman Prabowo langsung ditunjukkan begitu PDIP resmi mencalonkan jokowi sebagai capres tepat sebelum kampanye pileg. Prabowo kemudian membuka perjanjian batu tulis yang dianggap komitmen saling mendulung untuk bergantian mendukung capres antara PDIP dan Gerindra yang berkoalisi saat pilpres 2009. Prabowo dan Gerindra kemudian secara terbuka melancarkan serangan politik membabi buta kapada Jokowi yang dianggapnya tidak bisa menjaga amanah dan komitmen saat dibawa dari Solo ke Jakarta untuk dijadikan calon gubernur Jakarta oleh koalisi Gerindra - PDIP yang terbukti sukses mengantarkan Jokowi sebagai gubernur DKI. Peran Prabowo ini memang cukup signifikan karena Prabowolah yang meyakinkan mega untuk memajukan Jokowi. Sebelumnya PDIP nerencana mendukung kembali gubernur incumbent Foke seperti saat pilkada DKI sebelumnya.

Tapi apakah serangan politik yang masif ini efektif untuk mengangkat elektabilitas Prabowo dan Gerindra? Melihat simpati publik sepertinya serangan gencar ini cuma sedikit pengaruhnya bahkan bisa berakibat blunder. Seharusnya Prabowo bisa belajar manuver dari sang presiden SBY. SBY boleh dikata sebagai tokoh yang ahli dan sangat lihai dalam bermanuver politik. Alumnus terbaik Akabri 73 ini memang dikenal sebagai jendral yang cerdas dalam ilmu politik. Kelihaianya dalam bermanuver politik inilah yang sudah mengantarkan seorang SBY ke puncak kekuasaan presiden indonesia selama dua periode. Dibungkus dengan politik santun yang ditampilkanya sebetulnya SBY sangat pintar memainkan bidak-bidak trik politiknya. Ibarat ilmu taichi master dalanm hening sanggup merontokkan lawan-lawanya yang lebih kuat.

Kita tentu masih ingat saat awal reformasi tahun 1998 SBY hanyalah seorang kasospol ABRI yang sejatinya di bawah Pangab Wiranto. Tapi dengan kelincahannya SBY mampu menampilkan diri sebagai jenderal reformis sehingga bisa diterima di dunia politik di Era Reformasi. SBY berhasil mengangkangi Wiranto untuk mendapat simpati yang lebih luas dari publik dengan mendirikan Partai Demokrat yang lebih diterima masyarakat saat itu. SBY bisa membawa diri dan terbawa dalam pemerintahan dari Habibie, Gusdur sampai ke era Megawati. Bahkan saaenjadi menteri dalam kabinet Megawati, SBY berhasil membuat manuver politik dengan memanfaatkan posisinya yang dikucilkan Mega membuatnya mendapat simpati publik dan mengantarkannya ke kursi presiden mengalahkan Megawati yang notabene adalah atasannya di pemerintahan gotong-royong saat itu.

Kelihaian SBY dalam bermanuver politik ini bahkan bisa dibilang mengungguli sang guru militernya, Soeharto. Soeharto mampu membaca peta politik dunia yang sedang dalam perang dingin antara komunis-nonkomunis dengan menggilas kekuatan komunis melalui intelejennya sehingga komunis bergerak dan membabatnya habis dengan bantuan Barat. Soeharto bebas membentuk pemerintahan otoriter tanpa gangguan negara barat yang memang saat itu membutuhkan orang kuat untuk menyingkirkan komunis. Tentulah dengan pemerintahan otoriter Soeharto lebih mudah melakukan manuver politik untuk menjaga kekuasaaannya selama 32 tahun. Tapi SBY bisa melakukannya di era demokrasi di mana kebebasan pers dibuka seluasnya dan partai politik bertarung secara terbuka. SBY mampu menerjemahkan ilmu politik yang dikuasainya untuk memainkan bidak-bidak politiknya dalam catur kekuasaan dengan penuh strategi dan rencana matang yang rumit sehingga bisa mengantarkannya ke kursi presiden dan menjaganya bertahan penuh selama dua periode.

Sebaliknya dengan Prabowo. Prabowo justru dikalahkan oleh orang yang diangkatnya ke pentas kekuasaan pusat. Prabowo terlalu lugu sehingga justru seperti memelihara anak macan yang setelah diasuhnya justru mencakarnya. Ketika Prabowo melepasnya, justru anak macan itu diasuh kekuatan lain di belakang layar untuk menyingkirkannya karena dianggap akan bisa menghalangi usahanya bila Prabowo di puncak kekuasaan. Prabowo seharusnya punya penasihat politik yang cerdas untuk membalikkan keadaan karena Prabowo punya modal untuk mengalahkan Jokowi yang saat ini digadang sebagai capres no. 1 menurut survey. Mumpung masih ada waktu jelang Pilpres, Prabowo harus mengubah strateginya.

SBY mampu merangkul partai lain dan kelihaiannya berdiplomasi bisa diterima banyak kalangan. Walaupun segi negatifnya SBY dianggap terlalu berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan karena terlalu berhitung dengan resiko terkecil (zero risk). SBY juga terlalu kompromistis demi menjaga posisinya sehingga sering dianggap sebagai orang yang tidak tegas dan lamban.

Tapi terlepas dari itu SBY telah membuktikan dengan berbagai manuver politiknya telah mengantarkannya ke puncak kekuasaan tertinggi. Inilah yang harus dipelajari oleh seorang Prabowo yang sering grusa-grusu dalam bertindak. Belajarlah lebih sabar dalam memainkan bidak politiknya. Memang sih karakter di antara Prabowo dan SBY sangat bertolak belakang. SBY yang ahli strategi politik lebih banyak bertindak di belakang layar pertempuran, sementara Prabowo dikenal sebagai prajurit lapangan. Tapi tidak ada salahnya bila ingin sukses ke tampuk kekuasaan Prabowo harus belajar banyak kalo perlu menjadikan SBY sebagai penasihat politiknya karena beberapa waktu belakangan ini kedua jenderal ini secara tersirat terus menjalin komunikasi aktif untuk berkoalisi. Keduanya saling membutuhkan untuk menjaga tongkat estafet ke puncak pimpinan negara indonesia tetap di tangan militer..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline