Toleransi memiliki makna membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita tanpa kita ganggu atau kita intimidasi. Salah satu contoh bentuk toleransi adalah dalam beragama. Di mana penganut agama mayoritas dalam suatu negara atau masyarakat harus menghormati keberadaan agama lain atau kepercayaan lain yang berbeda. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi bermakna hadirnya dua kelompok berbeda yang saling berhubungan secara penuh.
Sementara itu, intoleran bermakna tidak menghargai atau menghormati pendapat orang lain yang memiliki pendangan atau keyakinan yang berbeda. Biasanya, ciri-ciri kelompok atau orang yang memiliki karakter seperti ini cenderung memaksakan pendapatnya dan menganggap bahwa apa yang diyakini adalah yang paling benar dan orang lain salah di mata mereka. Dalam bermasyarakat, tentu saja cara pandang seperti ini sangat mengkhawatirkan dan bisa memicu perpecahan antara sesama manusia.
Perbincangan soal toleransi dan intoleransi, dari dulu sampai sekarang selalu menjadi pembahasan yang tak kunjung habisnya. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara isu ini juga menjadi perhatian khusus. Hal ini dikarenakan minimnya pemahaman sebagian masyarakat dalam perbedaan, sehingga diskriminasi terhadap kelompok minoritas selalu terjadi.
Jelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017, fenomena intoleransi kembali muncul. Hal ini terbukti dengan beredarnya spanduk larangan mensholatkan jenazah salah satu pendukung pasangan cagub-cawagub. Tidak hanya itu, berbagai intimidasi agar tidak memilih pasangan Ahok-Djarot pun terjadi. Kebanyak dari mereka beralasan karena agama melarang memilih pemimpin yang tidak seiman. Namun anehnya, larangan tersebut hanya berlaku untuk pilkada DKI Jakarta. di beberapa daerah yang notabennya juga mengusung pemimpin yang tidak seagama dengan mereka malah didukung.
Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Populi Center beberapa bulan yang lalu didapati sebanyak 22,6 persen warga DKI setuju jika saat ini intoleransi di Jakarta berada pada fase yang sangat mengkhawatirka.
Maraknya intoleransi dalam pilkada DKI Jakarta ini, tentu saja sangat bertolak belakang dengan cita-cita founding fatherbangsa Indonesia Soekarno. Pada pidatonya dalam rangka HUT RI 1963, Bung Karno pernah mengatakan bahwa dari Sabang sampai Merauke tidak hanya sekedar satu geographical entity. Akan tetapi merupakan satu kesatuan kebangsaan.
Secara jelas pidato tersebut ingin memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa bangsa ini dihuni oleh berbagai macam suku, agama, Bahasa dan budaya. Keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia harus dijaga dan dirawat terus menerus. Menolak perbedaan atau keberagaman yang ada di Indonesia berarti mengingkari NKRI dan mengingkari moto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H