SAYA ini termasuk orang yang takut berurusan dengan elpiji, apalagi kalau sudah dibuat masak memasak. Kalau memesan elpji buat kompor di rumah, maka penjual warung sebelah rumah yang memasang selangnya. Saya tinggal menyalakan saja. Menu masakannya yang paling sederhana : membuat mi rebus atau mi goreng. Tidak sampai lima menit, saya sudah dapat menikmatinya.
Boleh jadi, saya mengalami empat generasi penggunaan bahan bakar, terutama untuk di area dapur. Eyang saya, di sebuah desa di Gunung Kidul sana, selalu memasak menggunakan kayu bakar. Biasanya, masak besar kalau cucu-cucunya, seperti saya, bermain saat liburan. Tapi, ketika saya sudah SMA, eyang saya, sudah berganti dengan kompor minyak tanah.
Ibu saya, yang tinggal di Yogyakarta, juga masih menyimpan kompor minyak tanah, meski sudah mendapatkan bantuakn kompor elpiji 3 kg dari kelurahan. "Kompor ini banyak menyimpan sejarah le (sebutan untuk anak laki-laki bagi orang Jawa). Sejak kita mengontrak rumah hingga sekarang, kompor ini tidak pernah rusak, cukup mengganti sumbunya saja," kata ibu saya.
Ketika saya pindah ke Sidoarjo, kompor minyak 'bersejarah' itu ikut menemani. Saya masih menyimpan dengan baik meski di dapur kami, sudah ada kompor gas, dengan tabung elpiji ukuran 3 kg dan 12 kg. Ketika dua tahun pertama tinggal, satpam RT menawari elpiji subsidi karena ada program konversi dari minyak ke gas. Ya, kami ikut saja dan memperoleh gas dan kompor.
Belakangan, meningkatnya kemampuan finansial kami, istri saya menyarankan untuk membeli elpiji nonsubsidi, ukuran 12 kg. Katanya, buat jaga-jaga, karena suatu saat di masa Lebaran, kami sempat kelimpungan karena gas habis, sementara warung-warung di sekitar kami masih tutup. Pengeluaran keluarga akhirnya membengkak karena setiap hari kami harus makan di luar.
Bagi saya, sekarang ini, sudah bukan saatnya mendikotomi istilah elpiji subsidi dan nonsubsidi. Kalau dipetakan, elpiji ukuran 3 kg lebih banyak digunakan teman-teman pedagang kecil yang mangkal di tempat tertentu, pedagang yang biasanya menarik atau mendorong gerobak dari perumahan ke perumahan. Sebaliknya, yang 12 kg, lebih banyak dipakai para pengelola resto. Secara alami, sudah ada perbedaan distribusi.
Kalau pemerintah ingin menggalakkan penggunaan gas di rumah tangga, saya kira bisa berjalan linier dengan pemakaian para pedagang itu. Salah satunya, dengan menekan harga gas, sehingga harga jualnya relatif wajar, terjangkau oleh semua kalangan. Saya selalu percaya, dengan kemampuan jaringan Pertamina, dan produksi gas yang ada, harga dapat ditekan.
Tapi dalam praktik, tidak selalu mudah. Kenapa? Di Indonesia, banyak ahli pertanian lulusan IPB dan universitas top, tapi harga beras justru semakin tinggi. Banyak ahli hewan keluaran universitas top, tapi harga daging terus membubung. Banyak ekonom muncul tapi inflasi dan kurs rupiah tidak terkendali. Menurut saya, ini aneh. Ada sesuatu yang salah di negeri ini.
Sekarang ini, ada Pertamina, ada Perusahaan Gas Negara (PGN), tapi kenapa harga gas tidak bisa ditekan? Selama faktor satu ini tidak mendapatkan perhatian khusus, saya kira harus dimaklumi jika elpiji 12 kg belum akan merakyat. Elpiji 12 kg tidak akan mampu menjadi idola masyarakat sebagai bahan bakar. Ini adalah tantangan Pertamina, dan perusahaan lain yang ikut mengelola gas.
Soal merakyat ini sedikit banyak memang bersinggungan dengan harga. Okelah, ada rencana kenaikan secara bertahap hingga 2016. Dalihnya, mencapai harga keekonomian. Saya sebagai konsumen jarang sekali berpikir tentang arti keekonomian itu. Benarkah dengan harga di level itu, kemudian ada investor yang masuk 'dunia gas'? Benarkah di harga itu, investor mendapatkan untung? Tidak seperti Pertamina yang selalu defisit saat ini.