Dalam sebuah artikel di sebuah website Sorge Magazine yang berjudul "Melawan Gelap: Tawaran untuk Gerakan Golput" (2019), dijelaskan bahwa gerakan golput di pemilu 17 April 2019 mendatang karena beberapa alasan. Pertama, "karena ruang partisipasi warga di ruang publik kian menyempit", kedua, "agenda pembangunan memakan banyak korban dan pemerintah seakan tutup mata", dan ketiga, "kedua paslon tidak mengambil jarak dengan politik orde baru".
Alasan kuat mereka, jika dirunut lebih lengkap, masifnya gerakan ini berawal dari berbagai kritikan-kritikan kepada pemerintah yang tidak pernah direspons. Suara-suara kegelisahan yang meliputi korupsi, pembunuhan seorang jurnalis, perampasan ruang hidup masyarakat, dan pembelaan aparat hukum pada investor yang merampas tanah rakyat daripada membela pelapor, kemudian semakin menggema. Akhirnya, suara yang tak terdengar itu, bagi mereka, harus diganti dengan sebuah gerakan. Maka, tidak heran jika golput di pemilu 2019 ini akan bersifat masif dan besar-besaran.
Golput bukanlah istilah baru hari ini. Secara historis, gerakan ini sudah ada sejak orde baru. Istilah ini juga dilekatkan pada orang-orang yang tidak ikut dalam setiap pemilu. Faktornya bisa karena malas, lupa, kontra pemerintah, dan tidak ada money politic. Namun, di pemilu kali ini golput bukan istilah biasa saja, melainkan telah menjadi sebuah gerakan besar-besaran. Mereka mengajak orang-orang untuk tidak ikut andil di pemilu mendatang dan memberikan alasan-alasan logis.
Apakah gerakan ini salah? Ditinjau dari analisis mereka yang logis pada kedua paslon dan gerakan-gerakan yang mereka lakukan selama ini adalah sesuatu yang luar biasa untuk bangsa ini. Karena mereka mendalami kedua paslon serta partai-partainya dengan kritis---baik itu dari segi historis dan HAM---sebelum melakukan pemilihan. Harusnya, ini bisa jadi contoh untuk yang lain supaya tidak asal pilih. Selain itu, gerakan ini berdiri di atas kekecewaan, bukan semata-semata karena tidak ada politik uang yang lumrah terjadi di masyarakat.
Secara perjuangan luar biasa, tapi bagaimana sikap mereka dalam pesta demokrasi? Pesta demokrasi dengan pemilihan pemimpin baru memiliki makna harapan. Dikatakan demikian, karena demokrasi memberi bangsa ini harapan untuk memperbaiki negara ini lewat pemilihan pemimpin baru berdasarkan penilaian mereka. Dengan ini, golput (golongan putih) bisa dikata (sementara) telah membunuh atau menyia-nyiakan harapan yang diberikan demokrasi.
Pemilu (pesta demokrasi) bermakna harapan karena di dunia ini pasti ada pemimpin baik dan tidak baik. Jika kita dipertemukan dengan pemimpin pro rakyat, kita selalu berharap pemimpin selanjutnya adalah sepertinya. Tapi jika bertemu dengan pemimpin yang tidak pro rakyat, kita berharap tidak ada lagi pemimpin yang sepertinya. Baik dan tidak baik ternyata kita masih memiliki harapan. Artinya, dalam setiap pemilu di sana selalu ada harapan. Harapan lahirnya pemimpin yang pro rakyat.
Golput di pemilu 2019 sama saja membunuh harapan yang ada. Apa harapan itu? Tentu harapan yang dimaksud secara umum bukan hanya pemimpin yang baik dari semua sisi (mutlak), itu sangat jauh dari kemungkinan. Karena manusia tidak ada yang sempurna. Harapan yang ada itu, misalnya, pemimpin yang terbuka pada kritik, pada kecemasan, dan keinginan rakyat dari berbagai hal.
Dari sekarang kita diberi waktu melihat sosok pemimpin yang kemungkinan memiliki harapan tersebut. Untuk itulah, saya katakan sekali lagi, golput di pemilu 2019 sama saja telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Selain itu golput juga diarahkan untuk melawan segenap kultur sosial-politik yang telah menjelajahi partai politik, lembaga negara, dan masyarakat sipil sendiri, yang menimbulkan problem-problem sosial.
Pertanyaannya, dengan cara apa mereka melawan? Dengan cara turun jalan dan meminta suaranya didengarkan? Hari ini perlu diakui bahwa cara itu saja tidak cukup. Gerakan golput perlu memiliki interaksi sosial-politik yang meliputi hubungan politik dengan orang-orang politisi, guna aspirasi mereka bisa dipenuhi.
Contoh, isu aparat hukum yang sering menganiaya masyarakat bukanlah isu usang. Seperti pria asal sampang yang dipenjara karena telah membunuh begal walaupun alasannya untuk mempertahankan diri. Tapi berkat Mahfud MD---yang memiliki nama di negara ini---setelah dilaporkan ke Presiden, akhirnya pria itu dibebaskan bahkan diberi penghargaan.