Lihat ke Halaman Asli

Refleksi terhadap Buku Totto-chan

Diperbarui: 16 September 2023   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi 

Membaca buku totto-chan, ternyata memerlukan lebih banyak waktu dibandingkan buku dengan genre yang sama yang pernah saya baca. Padahal totto chan adalah buku dengan bahasa yang renyah bahkan saya pernah mempersilahkan anak pertama saya yang berusia 6 tahun untuk membaca sepenggal kisah di dalam buku tersebut. Apalagi dengan berbagai ilustrasi menarik yang ada di beberapa halaman, membuat buku ini seperti ingin menjangkau anak-anak pula. 

Bila dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada alasan bagi saya untuk memerlukan waktu yang begitu lama untuk menyelesaikan buku ini, bahkan harus rela tersalip dengan buku lain yang ternyata selesai terlebih dahulu. Jangan-jangan, sejak awal saya membuat frame yang salah terhadap buku ini sehingga tidak memprioritaskan untuk menyelesaikannya sesegera mungkin. Dan, setelah menyelesaikan membaca buku totto-chan pagi ini, saya menemukan jawaban jujur dari dalam diri. Tidak disangka, selama ini ternyata saya merasa malu membaca buku totto chan. Saya malu sebagai orang tua dan sekaligus sebagai seorang guru. Dari rasa malu inilah, dari titik inilah saya mencoba membuat refleksi terhadap buku ini.

Perasaan malu memang terkesan datang dengan tiba-tiba, tapi tak mungkin juga ia muncul begitu saja,  yakin ia muncul dari serangkaian respon terhadap diri, memang begitu naif untuk diungkapkan, kadang hanya berupa simpul senyum atau bahkan hanya sebatas rona merah pada pipi, tapi sungguh ia adalah candu. 

Begitulah mekanisme malu yang saya alami selama membaca buku totto-chan. Akan tetapi jangan bayangkan rasa malu ini seperti seseorang yang bertemu dengan pujaan hatinya. Perasaan malu ini lebih cocok seperti bebek yang tak sengaja bercermin pada air danau. Kau tau tak ada yang disembunyikan oleh air danau, ia mengungkapkan refleksi diri yang jujur yang tak mungkin disangkal. Buku ini bukanlah air danau yang dimaksud, tapi ia seperti tawas, menjernihkan apa yang mungkin keruh. Anggapan saya sebagai orang tua dan guru yang 'cukup' baik seketika terbantahkan setelah membaca buku ini. Bukankah ini hal yang cukup untuk membuat diri begitu malu untuk menerimanya.

Saya menulis tulisan ini dengan mata yang berkaca, menyadari dengan sepenuhnya bahwa banyak kesalahan yang telah saya lakukan terhadap anak dan murid saya. Tak sanggup saya rinci kesalahan saya terhadap mereka, itu hanya membuat saya menjadi lebih bersalah. Jika pun ada satu kata yang cukup menghilangkan rasa bersalah ini, sungguh saya akan gunakan sekarang juga.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline