Pagi ini pukul 07.45, saya mengayuh sepeda untuk mengantar anak saya, Juno ke sekolah. Masih gelap dan dingin, karena memang sudah memasuki musim dingin (winter). Juno, 7 tahun saat ini duduk di kelas 1 pada sebuah sekolah di Swedia, Pilängskolan namanya. Bila tidak ada kesibukan yang berarti di kampus, saya sempatkan mengantar anak-anak ke sekolah. Adiknya, Marcho saat ini 'sekolah' di dagis, semacam taman kanak-kanak yang juga berfungsi sebagai tempat penitipan anak-anak. Kalau hanya 3 jam sehari masih gratis. Dibimbing dan dijaga oleh 2-3 guru untuk setiap grup yang terdiri 10-20 anak. Bila ingin seharian di dagis, dikenakan biaya sekitar Rp 700-800 ribu sebulan. Sudah termasuk makan, minum susu dan buah-buahan.
[caption id="attachment_147297" align="aligncenter" width="432" caption="Suasana di kelas Juno"][/caption]
Untuk Juno, inginnya sich bisa sekolah internasional, namun lokasinya tersebut jauh dari tempat kami tinggal. Beberapa hari setelah saya memboyong keluarga ke Swedia tepatnya bulan Maret 2011, saya langsung ajak Juno mencari sekolah. Prosesnya begitu cepat, bertemu kepala sekolah, isi formulir, wawancara dan besoknya boleh sekolah. Karena Juno usianya belum 7 tahun saat itu, dia ditempatkan di förskola, semacam kelas persiapan sebelum masuk kelas 1. Di Bogor, Juno sudah kelas 1 semester dua di sebuah sekolah negeri. Walaupun Pilängskolan bukan sekolah internasional, namun murid-muridnya bukan hanya dari Swedia saja, tapi berasal dari seluruh dunia. Ada yang dari Afrika, Timur Tengah, Asia (China, Thailand, Vietnam) dan beberapa negara Eropa. Juno satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Pemerintah Swedia patut diacungkan jempol untuk pelayanan masyarakatnya. Contohnya di sektor pendidikan ini. Swedia membebaskan biaya pendidikan dari SD-SMA bagi siapa dan darimana saja yang sudah terdaftar di kantor catatan sipil. Di sekolah Juno, semua murid diperhatikan dan dibimbing dengan sepenuh hati. Pengamatan menarik saya rangkum sebagai berikut: 1. Satu kelas hanya boleh diisi oleh maksimum 20 murid dengan diajar oleh 2 orang guru. 1 orang guru senior merangkap walikelas. Seorang guru pendamping/asisten. 2. Sebelum anak-anak masuk guru-guru sudah berada di depan pintu kelas, menyambut anak-anak yg datang dengan senyuman, menanyakan kabar, bahkan memeluk dan membelai kepala anak-anak. Seperti anak-anaknya sendiri. 3. Sebelum sekolah dimulai, di kelas disetel lantunan musik nan lembut, bangku disusun berganti-ganti, kadang seperti bentuk U atau seminar dengan formasi duduk anak-anak yang berganti-ganti teman duduknya. 4. Guru memulai pelajaran pukul 08.00, kemudian istirahat pukul 10.00 selama 15 menit. Pukul 11 tepat anak-anak makan siang di ruangan khusus makan, bersama murid-murid dari kelas lain. Anak-anak mengambil sendiri makanan serta susu segar. Mereka boleh tambah. Sebelumnya orangtua mengisi formulir bila ada pantangan dalam menu. Kami contreng menu halal dalam hal ini. Pukul 13.00 sekolah usai. 5. Setiap minggu wali kelas mengirim e-mail kepada para orangtua tentang apa saja yg sudah dipelajari dan apa yang akan dipelajari minggu depan. 6. Biasanya ada acara menampilkan kemampuan anak-anak, misalnya menyanyi, menari di depan semua kelas. Orangtua diundang untuk melihat. 7. Orangtua akan diundang bertatap muka dengan wali kelas bersama anaknya untuk mengetahui kemajuan belajar sang anak. 8. Ada kegiatan ekstra setelah pulang sekolah, seperti bermain bola, skating, golf, bola voli, yoga dll. Anak-anak dilatih oleh 2 orang guru, untuk 2 jam. Semuanya gratis. 9. Setiap beberapa bulan, anak-anak akan diajak nonton pertunjukan teater, ke kebun binatang, piknik di pantai dan lain-lain. Bila lokasi cukup jauh, disediakan bis. Juga gratis. 10. Untuk anak-anak yang mempunyai keahlian atau minat khusus, guru akan memfasilitasinya. Misalnya diberikan buku latihan khusus utk yang gemar Alhamdulillah Juno menyukai sekolah dan selalu semangat berangkat sekolah. Menurut bu Ewa gurunya, Juno termasuk paling pintar di kelasnya. Baik pelajaran matematik dan bahasa Swedia. Baru beberapa bulan, dia sudah pintar berbahasa Swedia. Dia diberikan bu Ewa, yang juga ahli matematik, buku latihan matematik yang lumayan tebal, bergambar dan penuh cerita. Selain itu diberikan buku cerita berbahasa Swedia. One day I told him "When my PhD is accomplished, we'll go back to Indonesia". He said " No, I don't want to go back to Indonesia!". Hmmm... Landskrona, 8 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H