Metode resolusi bank secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: closed-bank resolution dan open-bank resolution.
Dalam closed-bank resolution, resolusi dilakukan dengan melakukan penutupan terdapat bank gagal, selanjutnya opsi pilihannya meliputi antara lain: melaksanakan likuidasi bank; mengalihkan sebagian aset dan kewajiban bank (Purchase & Assumption) kepada bank lain; atau mendirikan bank perantara (Bridge Bank).
Sedangkan dalam open-bank resolution, pada intinya bank tetap dipertahankan beroperasi dan dilakukan upaya penyehatan melalui antara lain: menambah modal, memberikan pinjaman, atau membeli aset bank yang berkualitas buruk.
Pelaksanaan likuidasi merupakan jalan normal bagi bank untuk keluar dari sistem perbankan atau disebut "normal insolvency proceedings". Dalam pelaksanaan likuidasi, nilai aset bank diupayakan agar dapat dipertahankan sehingga dapat memberi tingkat pengembalian (recovery rate) yang tinggi bagi para kreditur.
Namun mengingat bank telah dicabut izinnya, penggunaan basis gone-concern dalam pengelolaan dan penjualan aset bank akan berpotensi menyebabkan penurunan nilai aset. Selain itu, terhentinya layanan perbankan kepada nasabah (kreditur & debitur) akan berdampak pada konsumsi, investasi, dan riil ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, pelaksanaan likuidasi dipandang merupakan opsi resolusi bank yang memakan biaya paling mahal dan tingkat pengembalian yang paling rendah bagi kreditur.
Pelaksanaan resolusi bank, dilakukan dengan mempertahankan keberlangsungan fungsi kritikal bank dengan cara mengalihkan sebagian aset dan kewajiban kepada bank penerima atau kepada bank perantara; atau mempertahankan bank beroperasi dan diberikan bantuan keuangan (open bank assistance/OBA).
Setelah krisis 2008, opsi OBA (bail-out) disepakati untuk sedapat mungkin dihindari karena dapat menimbulkan moral hazard, persaingan tidak sehat, dan rasa ketidak-adilan, selain membebani anggaran negara.
Dengan pelaksanaan resolusi diharapkan layanan perbankan dapat terjaga keberlangsungannya, stabilitas sistem perbankan dapat terpelihara, sehingga secara keseluruhan biaya kegagalan bank akan lebih murah dan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi bagi kreditur dibandingkan likuidasi.
Berdasar pada pandangan tersebut, dalam Key Attributes (KA) of Effective Resolution Regimes for Financial Institution diatur bahwa apabila dilaksanakan resolusi, harus dipastikan tidak ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank secara keseluruhan dilakukan likuidasi, disebut prinsip No Creditors Worse Off than in Liquidation (NCWOL).
Selain itu, pembebanan kerugian bank harus memperhatikan creditor hierarchy di mana pemegang saham merupakan pihak pertama yang harus menyerap kerugian, dan selanjutnya diikuti pemegang hybrid capitals, subordinate debts, senior debts, serta dapat pula termasuk nasabah penyimpan yang tidak dijamin. Kreditur dengan kategori atau kelas yang sama harus memperoleh tingkat pengembalian yang sama pula, dan tidak diperkenankan membedakan perlakuan kepada kreditur berdasarkan lokasi klaim dan kewarganegaraannya (pari passu).
Penerapan prinsip NCWOL dan pembebanan kerugian sesuai creditor hierarchy tersebut dinamakan Safeguards, yang dimaksudkan sebagai upaya untuk memberi perlindungan terhadap hak kepemilikan (property right) bagi kreditur dengan menggunakan asumsi bahwa pengembalian dari hasil likuidasi bank merupakan jumlah minimal yang akan diterima dan menjadi hak kreditur.