Lihat ke Halaman Asli

Keikhlasan Seorang Lulusan UGM

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat semasa kuliah dulu setiap liburan tiba aku pasti main ke tempat Eyangku yang di Yogya. Kumanfaatkan selama di Yogya untuk berkumpul dengan teman-teman SMA-ku yang kuliah di Yogya. Seru juga kuliah di sana, dengan seabreg kegiatan kuliah dan ekstra plus demo kalau ada yang demo. Hmmm dunia kas anak kuliah yang sangat berbeda denganku yang menjadi anak manis. Masuk kuliah jam 7 pulangnya jam 14, kuliahnya militer banget.

Temanku SMA bahkan sedari SMP ini sebutlah namanya Tenik, ia kuliah di Fakultas Pertanian UGM. Mungkin bukan fakultas pilihan pertama, so tidak apalah. Dia termasuk anak pintar di sekolahnya. Anak seorang petani sama sepertiku. Ke tempat kosnyalah aku biasa mampir saat di Yogya, entah sekedar ngobrol atau ngajak makan. Aku lulus terlebih dahulu karena jenjangku yang hanya D3. Sempat tidak terjalin kontak beberapa lama. Sampai aku mendapat undangan pernikahan. Alhamdulillah Tenik menikah dengan temannya yang dulu pernah ia ceritakan tapi aku belum sempat berkenalan.

Kesibukan di tempat kerja dan keluarga membuatku kehilangan kontak, sampai akhirnya aku diberi tahu adikku. Kalau Tenik sekarang tinggal di kota kelahirannku. Dia memang tinggal di belakang desaku dan sudahmempunyai seorang anak lelaki. Adikku pun bercerita kalau Tenik sekarang menjadi guru TK di sekolah anaknya. Sebuah Sekolah yayasan Islam terbesar. Pikirannku jadi melayang kembali ketika kami masih masa-masa kuliah. Membicarakan idealisme-idealisme dan sebuah kesuksesan.

So apa Tenik salah jadi guru TK karena dia anak lulusan UGM? Tidak, bukan karena terpaksa juga dia bekerja jadi guru TK. Dia dan suaminya adalah manusia luar biasa, walaupun mereka jebolan dari universitas ternama dan tidak bekerja di sebuah instansi atau punya jabatan yang wah. Mereka tetap tak pernah lupa akan syukur dan tidak pernah mengeluh. Suaminya setia bekerja sebagai supervisori sebuah sepatu Lokal terkenal. Dia bekerja di kota lain, setiap 2 hari sekali pulang. Sementara Tenik sendiri selain menjadi guru TK, dia juga masih aktif menanam padi. Apa menanam padi ? Sontak aku makin tak percaya. Di jaman seperti ini masih ada yang masih kerja keras jadi petani padi. Dia bekerja dengan kedua orang tuanya saat-saat tanam, menyiangi dan panen di lahan mereka. Tidak terbayang teriknya matahari saat mereka bekerja.

Okey, It’s fine. Yang masih aku belum terima dari Tenik adalah ketika dia tidak mau menerima uang les dari siswa yang datang ke rumahnya. What ?Sambil mengernyitkan dahi. Kebetulan keponakannku dan juga ada anak-anak yang lain minta les, tetapi setiap diberi uang selalu di tolaknya. Ah, sungguh mulia dirimu Tenik. Alasanmu sederhana, kamu mengajar mereka apa yang kamu bisa sama seperti mengajarkannya kepada anakmu. Dan segala sesuatu memang tidak dinilai dengan uang dan kekayaan. Tapi keikhlasan hidupmulah yang membuat kami harus banyak bersyukur. Sukses itu tidak dari harta tapi dari hati menaklukan ego.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline