Lihat ke Halaman Asli

SBB yang Tak Kunjung Membaik: Catatan untuk Pembaruan

Diperbarui: 7 Mei 2021   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Seram Bagian Barat (SBB) tak kunjung menjadi lebih baik. Kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah ini sudah dipimpin oleh dua orang bupati sejak berstatus sebagai kabupaten sendiri di propinsi Maluku. Dua periode dipimpin oleh Bupati Jacobis Puttileihalat, kini bumi Saka Mese Nusa dipimpin oleh Bupati M. Yasin Payapo sejak 22 Mei 2017. 

Ketika kampanye dulu, Payapo mengusung slogan "Biking Bae", artinya berbuat (lebih) baik untuk memperbaiki dan membangun SBB. Akan tetapi, hampir empat tahun memimpin, SBB tak kunjung menjadi lebih baik. Kabupaten ini masih sama seperti yang dulu, atau bahkan lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya.

Bupati yang mengawali masa kepemimpinan dengan menyunat dana desa untuk mendukung Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) di SBB ini, padahal ada pos anggaran sendiri Pesparawi, hingga sekarang tak bisa melakukan terobosan-terobosan kreatif dan berarti untuk membangun daerah dan masyarakatnya. 

Salah satu yang diangkat di sini adalah kelambatan, atau lebih tepatnya kelalaian, sang Bupati bersama legislator di SBB dalam menghasilkan produk peraturan daerah yang pro masyarakat. Salah satunya adalah aturan mengenai negeri adat dan pemerintah di negeri adat di SBB, serta desa-desa dan pemerintahan desa administratif (untuk dusun-dusun yang kemudian ingin dimekarkan menjadi desa).

Sampai hari ini negeri-negeri adat di SBB masih dipimpin oleh seorang pejabat sementara atau caretaker. Seorang pejabat sementara semestinya mempersiapkan pemerintahan negeri adat secara definitif. Namun, sampai kini Payapo tampaknya tidak memiliki keinginan politik untuk membereskan situasi ketidakpastian tersebut. 

Alhasil, negeri-negeri dan dusun-dusun di SBB terus hidup dalam ketertinggalan dan tidak merasakan dampak kehadiran seorang bupati. Negeri-negeri dan dusun-dusun menjadi daerah-daerah auto pilot. Tanpa bupati pun mereka bisa berjalan sendiri. Karena itu, kita bisa dengan tegas mengatakan bahwa pemekaran dan kepemimpinan Payapo hingga kini tidak berdampak signifikan. "Biking Bae" hanyalah slogan pemanis bibir di masa kampanye hampir empat tahun lalu dari seorang politikus Payapo.

Payapo Mesti Berani, Kreatif, dan Berbuat untuk Semua

Sebagai seorang pemimpin, Payapo harus berani mengambil langkah politik, dan kreatif merancang dan mengeksekusi program-program pemberdayaan masyarakat SBB. Tentu, karya pembangunan yang dilakukan Payapo tidak boleh terbatas pada kampung tertentu saja, atau pada wilayah-wilayah yang memberikan "keuntungan" dalam konteks politik elektoral.

Payapo harus benar-benar bekerja untuk mewujudkan slogannya, dan bukan untuk mengejar kursi di periode selanjutnya. Sebaliknya, Payapo bekerja untuk bmewujudkan janji-janji politiknya sebagai seorang pemimpin yang berintegritas. 

Bekerja untuk semua masyarakat di SBB adalah manifestasi dari integritas seorang Payapo. Tanpa ini, menurut saya, Payapo tidak pantas untuk mencalonkan diri kembali dalam Pilkada mendatang, sebab tidak berintegritas.

Karena itu, dalam konteks pemerintahan di negeri-negeri adat dan dusun-dusun, Payapo mesti mendorong penyiapan pemimpin adat atau raja-raja di negeri-negeri. Untuk negeri-negeri yang sudah memiliki raja tetapi belum dilantik, Payapo mesti mengambil langkah berani untuk mempersiapkan pelantikan, tentu dengan mempersiapkan juga regulasinya bersama legislator di SBB, atau dengan menerbitkan peraturan bupati terkait hal tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline