"Pertanyaannya, apakah politik hospitalitas itu meniadakan penegakan hukum? Tentu tidak. Tanpa hukum, kita tidak bisa menjamin bahwa politik hospitalitas itu akan hidup dan menjadi budaya sebuah negara."
Tensi politik Indonesia, khususnya di pulau Jawa, kian menghangat sejak kepulangan Rizieq Shihab. Ulama yang terbilang "kontroversial" ini memang selalu menjadi "magnit" dalam perpolitikan Indonesia.
Kedatangannya dari Arab ke Indonesia terjadi persis di tanggal 10 November. Kehadirannya pun disambut bak pahlawan. Bandara menjadi macet karena kerumunan massa pendukungnya. Padahal, Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19.
Tak berhenti di situ, kerumunan pun berlanjut. Baik di Megamendung-Bogor maupun di kediaman sang habib di Petamburan-Jakarta, massa berjubel ingin melihat dan mendengar siraman dakwahnya secara langsung.
Kerumunan massa yang terjadi sudah tentu melanggar aturan dan protokol Covid-19 yang berlaku. Kerumunan massa ini sebenarnya masih bisa dicegah, baik melalui aparat keamanan yang tegas menegakkan aturan maupun oleh himbauan dari Rizieq Shihab sendiri untuk massa pendukungnya.
Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar serta Kapolres di bawah mereka mendapatkan getahnya. Para perwira ini dicopot dan dimutasikan ke tempat baru.
Politik Hostilitas
Pencopotan dan mutasi yang terjadi di tubuh Polri itu barulah permulaan cerita. Tampaknya jagat maya Indonesia akan kembali ramai, dan tensi politik pun akan semakin memanas.
Di bulan Desember ini Pilkada serentak akan kembali di gelar. Lalu, di tahun 2022 Pemilu Presiden, DPR-RI dan DPD RI akan dilakukan. Politisi dan partai politik (parpol) sudah mulai pasang kuda-kuda. Ditambah dengan proses legislasi di DPR RI terkait dengan rancangan UU yang terbilang sensitif, maka emosi nasional akan meningkat.
Yang harus diwaspadai dalam kondisi nasional yang tidak kondusif itu adalah politik hostilitas atau politik kebencian. Politik hostilitas dikembangkan dari praktik politik SARA, yang terus dieksploitasi oleh politisi Indonesia, bahkan terjadi di negara sekaliber Amerika Serikat.
Suku dan agama tertentu dijadikan sebagai sasaran kebencian. Berbagai propaganda licik dan tak berdasar disebarluaskan untuk membangkitkan rasa marah dan benci, yang bisa saja berujung anarki. Kelompok-kelompok tertentu yang menjadi sasaran kebencian itu lalu menjadi tumbal dari hasrat picik yang dijalankan melalui kenderaan politik hostilitas.