Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Bambu

Diperbarui: 12 November 2020   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jawa Barat adalah salah satu daerah di Indonesia yang akrab dengan bambu. Pohon-pohon bambu tumbuh subur di berbagai tempat di propinsi yang, konon, saat diciptakanTuhan sedang tersenyum. 

Jika kita melancong ke Ciwidei, misalnya, kita akan disuguhkan pemandangan pepohonan bambu yang memajang berderet-deret di sisi jalanan yang berkelok-kelok.

Bambu memang tidak sekeras jati. Namun, bambu yang beragam jenis memiliki daya lentur yang luar biasa. 

Bambu Petung dapat menjadi tiang penyangga rumah yang cukup kokoh; jenis yang lain bisa dianyam sebagai dindingnya. Bambu pun dapat dirangkai menjadi aneka perabot dan hiasan. Bambu bisa dijadikan dipan atau kursi, tempat kita berbaring dan bersandar. 

Daya lentur menjadi kekuatan yang membuat bambu mudah ditata menjadi apa saja. Di Jawa Barat, bambu diolah menjadi angklung yang melenting dengan nada-nada indah sampai mancanegara, dan diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. 

Seperti pepohonan bambu yang selalu tumbuh bersama, angklung pun harus dimainkan bersama. Satu angklung, satu nada. Ketika digoyang menurut irama, keindahan dan kemegahannya tidaklah kalah dengan tuts-tuts piano seorang maestro. Malahan di sinilah kekuatannya, semakin banyak yang bermain, irama angklung akan semakin megah dan terasa begitu indah. 

Dalam bermain angklung, setiap orang dengan permainan nadanya sangatlah penting, dan pentingnya itu baru akan terasa dalam sebuah permainan bersama. Jikalau terlepas sendiri-sendiri, memang setiap angklung itu masih ada nadanya, tetapi tak ada faedahnya, sebab tidak mampu mengiringi sebuah lagu yang selalu beragam nada. 

Paling banter, kalau terlepas sendiri-sendiri, angklung tidak lebih dari sebuah barang pajangan. Maka, dalam bermain musik bambu angklung, personalitas dan kolektivitas dihargai dan dirayakan. Inilah persisnya arti kolektif-kolegial dalam kepemimpinan. Sepakati lagunya, dan kita mainkan bersama nada-nada indah menurut irama lagu yang dipandu sang dirigen.

Itulah filosofi bambu. Filosofi yang terbayang saat membaca pengalaman seorang peziarah yang menulis: "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi" (Mzm. 121:1-2). 

Saat membayangkan gunung atau pun perbukitan di tatar Sunda, yang muncul di kepala saya adalah gugusan pohon bambu. Tuhan, sebagaimana yang kita yakini, selalu ada sebagai penolong bagi kita, terlebih-lebih di masa susah sekarang ini. Namun, Tuhan juga mau kita belajar, antara lain belajar dari bambu yang Ia tanam bergerombol dan berderet-deret di banyak tempat di bumi Priangan dan Indonesia. 

Dari bambu, kita belajar mengenai resiliensi, yang secara sederhana diartikan sebagai daya lentur. Kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi. Bukan supaya situasi mengendalikan kita, tetapi kitalah yang mengendalikan situasi. Apalagi, kalau kita yakin seperti sang peziarah itu bahwa Tuhan selalu ada sebagai penolong dan pemelihara, maka semestinya kita dapat menguasai diri dan mengendalikan situasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline