Kepemimpinan adalah sebuah fungsi. Kepemimpinan dilukiskan sebagai kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Kepemimpinan ada untuk menjawab tantangan hidup bersama. Pemimpin mengerjakan mimpi yang dirajut bersama sebagai karya. Oleh karena itu, seorang pemimpin selalu dikenal dan dikenang melalui kerja-kerja yang bernilai bagi komunitas yang dipimpinnya.
Di negara dan bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta, misalnya, dikenal sebagai Proklamator. Soekarno diterima sebagai penggali Pancasila. Hatta dikenal sebagai seorang demokrat sejati dan bapak koperasi. Artinya, ada sesuatu yang bernilai yang mereka wariskan kepada generasi-generasi setelah mereka, terlepas dari adanya kekurangan mereka juga.
Demikian halnya dengan Johanes Leimena. Tokoh Jong Ambon di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia ini dikenal sebagai pribadi yang rustig/tenang dan sederhana. Ialah yang merancang dan meletakkan dasar kesehatan masyarakat di Indonesia. Hari ini kita bisa berobat di Puskesmas sampai ke Rumah Sakit Daerah atau Nasional, itu merupakan hasil pergumulannya menjawab persoalan-persoalan kesehatan masyarakat.
Buah Kepemimpinan
Buah tangan seorang pemimpin yang sungguh-sungguh bergumul dengan persoalan dasar kemanusiaan akan selalu dikenang. Nama mereka akan abadi. Sekalipun sudah tiada, tetapi nama baik mereka terus terjaga. Mengapa? Sebab bukan artefak yang mereka wariskan, tetapi keteladanan.
Seorang pemimpin tentu bukan manusia sempurna. Pemimpin juga orang biasa, sama seperti yang lain. Bahkan, seorang pemimpin dapat pula menjadi sosok yang begitu bengis. Sebutlah Hitler di Jerman, atau Soeharto di Indonesia di masa Orde Baru. Kedua orang ini tentu dikenang berdasarkan pengalaman masing-masing orang yang mengingat mereka. Ada yang memuja-muji mereka sebagai sosok-sosok nasionalis atau mengingat mereka sebagai bapak pembangunan. Namun, ada juga orang yang mengenang mereka sebagai sosok pemimpin bengis.
Bagi saya, tanpa menyangkal hal-hal baik yang sudah dikerjakan oleh mereka bagi negaranya masing-masing, Hitler dan Soeharto adalah tipikal pemimpin bengis. Mengapa? Ukuran kepemimpinan bagi saya adalah kemanusiaan. Seorang pemimpin yang demi ambisi nasionalisme dan pembangunan mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan, dia adalah pribadi yang bengis. Apalagi dengan sadar memberi perintah menculik, menembak, sampai membantai manusia secara masal. Hal demikian terjadi di era Hitler di Jerman dan Soeharto di Indonesia.
Jadi, apa pun yang dibuat oleh seorang pemimpin, baik atau pun buruk, itulah yang akan diwariskannya. Tentu saja, yang diharapkan adalah sosok pemimpin mewariskan teladan baik, sebab pemimpin adalah pribadi yang perbuatannya diikuti dan ditiru oleh orang-orang yang dipimpinnya. Leadership seorang pemimpin sangat berpengaruh, sehingga ada yang mendefinisikan pemimpin sebagai sosok yang memberi pengaruh.
Karena itu, kata dan perbuatan seorang pemimpin tidak boleh bertentangan. Misalnya, ketika bupati memberi ijin pembukaan hutan untuk penanaman cengkih atau pala di kawasan hutan adat, seperti di kabupaten SBB, maka lahan hutan itu harus ditanami cengkih dan pala. Bukan ijin tersebut dijadikan legitimasi untuk mencuri secara legal kayu-kayu di hutan adat. Setelah itu, masyarakat menanggung derita akibat lahan hutan yang dibabat. Perbuatan seperti ini menjadi cerminan ketidakkonsitenan dan pembohongan. Ini contoh nyata pemimpin yang tidak berintegritas.
Pemimpin publik yang memimpin tanpa integritas akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang dipimpin. Bukan kepentingan rakyat yang mereka prioritaskan, tetapi kepentingan dan kesenangan diri, kelompok sendiri, dan pemilik modal yang menguntungkannya. Kepemimpinan seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakmajuan dan penderitaan di pihak masyarakat.
Nasihat dan Teladan Pemimpin Bijak