Peristiwa teror yang terjadi di Paris dan Nice, Prancis menyita perhatian dunia. Penyerangan dan pembunuhan, bahkan dengan memenggal kepala, yang terjadi di Prancis memang perlu mendapat perhatian. Kekerasan dan pembunuhan tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun.
Teror adalah teror. Kekerasan adalah kekerasan. Teror dan kekerasan merupakan ancaman terhadap kemanusiaan dan peradaban.
Sayangnya, "salah lidah" Presiden Prancis yang kemudian mendapat banyak perhatian. Padahal, yang harus lebih banyak diboboti adalah tindakan kekerasan, latar belakang dan ideologi yang berada di balik peristiwa kekerasan itu sendiri.
Presiden Joko Widodo sendiri ikut menyatakan sikap atas nama bangsa Indonesia terhadap kejadian di Prancis. "Terorisme adalah terorisme. Terorisme tidak sama dengan agama tertentu ." Apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo ini tepat dan benar.
Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan agama-agama lain mengajarkan damai. Islam sendiri merupakan agama rahmatan lilalamin. Secara esensial, hal ini sama saja dengan agama Kristen yang mengajarkan tentang cinta kasih. Sejalan pula dengan Hindu, Budha, dan Konghucu yang mengajarkan tentang kebajikan dan harmoni.
Mewaspadai Radikalisme Agama
Akan tetapi, kita juga tidak bisa menutupi fakta bahwa dalam semua agama dunia itu, terdapat benih-benih radikalisme. Bahkan, sejarah di banyak tempat memperlihatkan bahwa kekerasan yang terjadi kerapkali melibatkan umat beragama dari agama-agama dunia tersebut. Di India, Myanmar, Selandia Baru, dataran Eropa, Amerika, dan negara kita sendiri, konflik dan kekerasan atas nama agama kerap terjadi.
Realitas tersebut memperlihatkan wajah ganda agama. Di satu sisi agama mengajarkan cinta dan pengampunan. Di sisi lain terdapat ajaran-ajaran yang justru melegitimasi kekerasan. Pada satu pihak ada sangat banyak kebaikan yang dibagikan umat beragama. Namun, di pihak lain ada juga kejahatan yang dilakukan atas nama agama.
Salah satu yang membuat agama berlepotan dengan kekerasan adalah radikalisme. Istilah radikalisme sesungguhnya mengandung arti yang positif, yaitu kembali ke radix, akar. Datang ke esensi agama.
Namun, dalam perkembangan, radikalisme dimaknai secara pejoratif, yakni untuk menunjuk pada sikap-sikap arogan yang menganggap kelompok sendiri sebagai yang benar, sedangkan yang lain salah dan sesat. Karena salah dan sesat, maka harus diluruskan. Jika tidak bisa diluruskan, maka boleh dibinasakan. Saya memahami radikalisme dalam tulisan ini demikian.
Radakalisme itulah yang berbahaya dan patut diwaspadai. Radikalisme tersebut mudah dipolitisasi, sebab wataknya yang tidak kritis dan sangat eksklusif/tertutup terhadap perbedaan tafsir, pandangan, dan ajaran. Radikalisme ini ada di hampir semua agama, termasuk agama Kristen.