Lihat ke Halaman Asli

Bukan Durasi, tetapi Kontribusi

Diperbarui: 1 November 2020   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan pemimpin komunitas adalah hal lazim. Banyak lembaga atau organisasi, termasuk lembaga keagamaan dan pemerintahan atau negara (di berbagai aras) melakukannya secara reguler. Pemilihan pemimpin yang tepat akan sangat menentukan perjalanan komunitas tersebut ke depan. 

Tak bisa dipungkiri, posisi pemimpin memang penting. Merekalah yang berada di depan untuk membawa sebuah komunitas. Bila jalannya baik, maka kebaikan niscaya dirasakan komunitas. Namun, pemimpin bukan segala-galanya. Di balik pemimpin hebat, selalu ada komunitas yang cerdas dan orang-orang yang partisipatif.

Orang-orang dalam komunitas sebagai satu kesatuan tubuh organis bukan massa, bukan kerumunan, atau sekadar tim sorak, tetapi subjek-subjek rasional bergagasan. Mereka tidak sekadar ikut memilih, tetapi terus mengawasi dan mendukung pemimpinnya secara kritis dan konstruktif.

 Bahkan, mereka yang merasakan langsung suka-duka kehidupan. Merekalah yang berkarya secara nyata dengan ilmu, skil, dan kemampuan yang ada untuk menjawab persoalan-persoalan riil yang dialami.

Itu berarti, pemimpin dan orang-orang dalam komunitas (keagamaan ataupun negara) sama-sama berperan. Kontribusi masing-masing sama-sama penting. Dan satu hal yang pasti, karya mereka dibatasi oleh durasi. 

Ada waktu untuk segala sesuatu, untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati. Takdir ini berlaku untuk semua manusia, entah ia pemimpin atau rakyat biasa yang bukan pemimpin. Karena itu, waktu yang ada tidak boleh disia-siakan. Waktu adalah kesempatan emas yang harus selalu dimanfaatkan. 

Akan tetapi, jangan lupa waktu. Ada waktu untuk naik, ada waktu untuk turun. Di sinilah tantangan untuk seorang pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan.

Sangking empuknya kursi tersebut, banyak yang kemudian enggan untuk turun. Maka, segala cara pun dihalalkan. Di kepala mereka lalu menggumpal pikiran sesat: semakin panjang durasi, konon semakin baik. Semakin lama berkuasa akan semakin menguntungkan. Ini tentu saja merupakan logika sesat. 

Siapa yang menjamin bahwa semakin lama memimpin akan semakin baik? Yang paling mungkin terjadi adalah semakin lama semakin buruk. Lihat pengalaman Soeharto. Makin lama makin otoriter, dan dia pun akhirnya diturunkan dengan cara yang tidak sedap. Bahkan, menimbulkan banyak korban.

Karena itu, kalau kita bicara tentang leadership, maka leadership itu bukan soal durasi, tetapi tentang kontribusi. Soal karya, fungsi, untuk menghadirkan kebaikan bagi komunitas. Kesejahteraan komunitas adalah kesejahteraannya. 

Lalu, ketika seseorang merasa atau sadar bahwa kontribusinya begitu disukai oleh banyak orang; saat hasilnya dinikmati, dan dia sendiri merasa bahwa ia telah mempersembahkan sesuatu yang paling baik yang ia bisa, maka itulah saat paling baik untuk ia turun. Itulah waktu terindah untuk dia melepaskan jabatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline