Lihat ke Halaman Asli

Cicak vs Buaya di Tanah Dongeng

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu kala, hidup seekor buaya yang ganas. Badannya besar, giginya tajam, ekornya panjang. Hidupnya amfibi, bisa di air juga bisa di darat. Ia hidup bersama teman-temannya yang sama ganasnya. Makanannya adalah hewan-hewan yang ada di depan matanya.

Suatu hari, datang seekor nyamuk. Hap! Lalu hinggap di hidung buaya yang sedang menyendiri. Sang nyamuk tampak terengah-engah. Lalu buaya bertanya, “hai nyamuk, ada apakah gerangan kau terengah-engah bagai habis dikejar cicak?” Nyamuk menjawab, “aku memang habis dikejar-kejar oleh cicak. Hampir saja aku menjadi makan siangnya”. Bibir buaya terangkat sebelah tanda menyindir, “apa enaknya kau, sampai-sampai si cicak doyan memakan mu, kau pahit, bau, dan kau… kecil”.

Pembicaraan mereka berlanjut. Si Nyamuk ternyata sedang bersedih hati. Telah banyak kawan-kawannya menjadi santapan si Cicak. Nyamuk menceritakan hal menyedihkan itu kepada sang Buaya. Sang buaya yang ganas itu pun akhirnya terenyuh. Ia tak tega kepada si Nyamuk yang telah kehilangan banyak teman dan keluarga. Sang Buaya lalu bertanya, “jadi, dengan cara apa aku bisa membantu mu?” Si Nyamuk terkejut, “kau serius mau membantu ku?” Sang Buaya dengan gagahnya menjawab, “kenapa tidak?”

Lama mereka berpikir mencari bagaimana cara agar Nyamuk dan kawan-kawannya tidak lagi diganggu si Cicak. Jika dengan cara mengancam, Si Cicak tidak takut dengan ancaman, ia akan selalu berani menyantap Nyamuk-nyamuk. Jika dengan cara berdamai, si Cicak tidak akan pernah mau berdamai, ia akan selalu menyantap Nyamuk-nyamuk. Hanya ada satu cara agar si Cicak tidak lagi mengganggu si Nyamuk, yaitu melemahkannya atau bahkan mematikannya. Akan tetapi, si Nyamuk tidak punya kekuatan yang cukup untuk melemahkan atau mematikan si Cicak, lalu siapa yang bisa melakukan itu, seketika itu juga si Nyamuk berkata dengan nada keras yang mengejutkan, “kau!”. Buaya tersentak, “nah! Itu. Kenapa tidak terpikir oleh ku. Ayo temui dia sekarang juga!” Si Nyamuk menyela pembicaraan, “tidak mungkin kau pergi ke sana, biar si Cicak saja yang kita pancing ke mari.” Sang Buaya menjawab dengan wajah bodohnya, “oooke…”.

Si Nyamuk memutar otaknya yang jauh lebih kecil daripada badannya. Ia memikirkan bagaimana caranya membuat si Cicak bisa bertemu dengan sang Buaya. Setelah sekian jam berpikir, ia mendapat ide yang sederhana, yaitu fitnahkan saja si Cicak dengan menggunakan nama sang Buaya, katakan saja menurut sang Buaya, Cicak telah bertemu dengan beberapa hewan selain hewan-hewan cicak guna mencari kekuatan untuk menguasai daerah yang ditempati bersama teman-temannya sesama cicak itu. Pasti nanti teman-teman si Cicak akan marah.

Tiba lah saatnya si Nyamuk bertemu dengan si Cicak dan teman-temannya di sebuah langit-langit rumah. Si Nyamuk tidak berani mendekat, dari kejauhan ia berteriak kepada si Cicak, “hei Cicak! Bagaimana perkembangan mu? Sudah mendapat dukungan kekuatan kah untuk menguasai daerah ini terhadap teman-teman mu?” Si Cicak seketika mengganti wajah bengisnya menjadi wajah yang keheranan, “apa maksud mu? Perkembangan apa? Aku tidak mengerti.” Sementara teman-teman si Cicak mulai menatapi si Cicak dengan sorotan tajam. Si Nyamuk berkata lagi, “sang Buaya memberitahu ku bahwa kau hendak menguasai daerah ini, dan kau telah bertemu dengan hewan-hewan lain untuk mencari dukungan kekuatan. Kau licik sekali, Cicak. Kau tega menyingkirkan teman-teman mu sesama cicak hanya untuk memenuhi ambisi bodoh mu itu.” Si Cicak kini mulai terpancing emosinya, “kau berfitnah! Aku tidak pernah bermaksud begitu dan aku tidak pernah bertemu dengan hewan-hewan lain untuk memenuhi maksud yang mustahil akan aku lakukan. Aku tidak akan pernah menghianati teman-teman ku!” Si Nyamuk mengetahui bahwa ini saatnya untuk memancing si Cicak agar menemui sang Buaya. Si Nyamuk lalu berkata, “buktikan omongan mu!”. Suara riuh mulai terdengar dari teman-teman si Cicak. Si Cicak seketika menjawab dengan penuh percaya diri, “oke! Aku akan buktikan, aku akan menemui sang Buaya untuk menanyakan bagaimana ia bisa berkata begitu. Nyamuk, dimana sang Buaya kini?” Si Nyamuk menjawab, “ikut dengan ku, aku akan tunjukkan di mana ia kini.” Si Cicak pun lalu mengikuti si Nyamuk.

Sekian panjang perjalanan mereka, akhirnya sampailah mereka di tepi sungai, tempat biasa sang Buaya bersantai menikmati hembusan angin dan pemandangan alam nan asri. Melihat keberadaan sang Buaya, si Cicak langsung bersuara, “hei Buaya, betulkah kau mengatakan bahwa aku hendak menguasai daerah ku atas teman-teman ku?”. Sang Buaya sejurus menoleh dan menjawab, “ya, betul. Aku tau akan niat licik mu itu. Kau ingin menguasai daerah mu atas teman-teman mu, dan kau telah bertemu dengan hewan-hewan lain untuk berkonspirasi agar kau punya kekuatan yang besar untuk melawan teman-teman mu.” Si Cicak mendekati Sang Buaya dengan memasang wajah berang, dia tidak takut kepada sang Buaya karena menurutnya sang Buaya tidak akan bernafsu memakan dagingnya yang kecil itu. Lalu si Cicak berkata, “aku tidak pernah melakukan itu, bahkan berniat pun aku tak pernah.” Sang Buaya menjawab, “aku punya saksi. Kau kenal dengan si Laba-laba berjenggot merah? Dia adalah teman ku, dia menceritakan kepada ku tentang pertemuan mu dengan hewan-hewan lainnya”. Si Cicak semakin tersudut, ia merasa segala perkatannya sia-sia saja dikeluarkan untuk menangkis tuduhan sang Buaya.

Di tengah-tengah perdebatan mereka, muncullah teman-teman si Cicak dari balik semak-semak. Ternyata teman-teman si Cicak sudah membuntuti perjalanan si Cicak dan si Nyamuk tadi, bahkan teman-temannya sudah menguping perdebatan antara si Cicak dan sang Buaya. Teman-teman si Cicak lalu mendekat dan langsung mengata-ngatai si Cicak dengan carutan-carutan yang kasar. Si Cicak mencoba untuk menjelaskan bahwa ia telah difitnah, namun teman-teman si Cicak tidak mempercayainya. Hati si Cicak tercabik-cabik tak menentu, kemudian ia berlari menjauhi kerumunan dengan air mata bercucuran dan hati tersayat.

Waktu berlalu, si Nyamuk mendapat kabar bahwa si Cicak mengalami gangguan jiwa akibat stres yang terlalu berat. Hingga akhirnya, si Cicak mati. Si Nyamuk bergembira ria mengetahui kabar kematian si Cicak. Si Nyamuk kini bisa terbang bebas ke sana ke mari menghisap darah manusia tanpa ada yang menangkapnya apalagi memakannya. Teman-teman si Nyamuk pun mulai mengikuti, dan akhirnya ruangan yang didiami si Nyamuk penuh dengan nyamuk-nyamuk yang setiap saat bisa saja menghisap darah manusia dan menimbulkan penyakit. Ruangan itu sekarang kacau-balau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline