Siang ini (31/03/2015), cuaca Cirebon cukup panas. Sengatan mentari di ujung Maret ini sepertinya sudah terasa hingga ke ubun-ubun saja. Membaca berita politik negeri yang sedang "panas-dingin" di saat seperti ini tentu saja bukan pilihan yang baik. Ada baiknya mata berselancar, jalan-jalan menikmati berita traveling. Semoga akan sedikit menghijaukan dan menyegarkan suasana. Tepat, ketika membuka Kompas online, mata saya langsung tertuju pada sebuah tulisan dengan judul “Sejarah Panjang Kebun Binatang Ragunan”. Setelah merampungkan bacaan, saya pun langsung men-sharenya di facebook.
Laporan yang ditulis oleh Denty Piawai Nastitie ini mengulas cukup banyak hal yang baru bagi saya, khususnya terkait dengan asal mula kebun binatang itu. Denty menulis bahwa Kebun Binatang ini pertama kali didirikan pada 19 September 1864 oleh seorang pelukis ternama Raden Saleh di Cikini Raya Nomor 73 Menteng Jakarta Pusat di atas lahan seluas 10 hektar miliknya. Ide pendirian itu diperoleh Raden Saleh sewaktu menempuh pendidikan di London, Inggris. Kebun binatang ini menjadi lahan penelitian, sekaligus inspirasi baginya dalam melukis.
Seiring perkembangan kota Jakarta, Cikini tak cocok lagi menjadi kebun binatang. Karena itu disiapkan lahan seluas 30 hektar di Ragunan, Jakarta Selatan. Pada tahun 1964, Pemda DKI Jakarta memindahkan koleksi Kebun Binatang Cikini ke Ragunan. Pada 22 Desember 1966 Kebun Binatang Ragunan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali adikin dengan nama Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Saat ini, TMR berada di atas lahan seluas 174 hektar dengan beragam jenis hewan ada di dalam kandang yang dikelompokkan sesuai jenis dan habitatnya. Demikian tulis Denty.
TMR merupakan wahana rekreasi alernatif khususnya bagi warga DKI Jakarta. Pada akhir pekan, Kebun Binatang ini dipadati pengunjung. Selain karena tiketnya yang murah dan terjangkau bahkan oleh kalangan ekonomi bawah, juga karena suasanya yang asri dan nyaman, sebab dipenuhi oleh rindang pepohonan. Namun, tahukah Anda, apa di balik nama Ragunan? Tulisan Denty memang fokus megulas TMR itu sendiri. Sehingga soal ini sengaja tidak dibahasnya.
Di Balik Nama Ragunan
Seorang ahli sejarah dan budaya Betawi, Alwi Sahab mengungkapkan, banyak warga Jakarta yang tidak mengetahui apa di balik nama Ragunan. Bahkan, ketika dilakukan penelusuran di sekitar wilayah kelurahan Ragunan, tidak jarang ditemukan warga Ragunan yang tidak mengetahui rahasia di balik nama Ragunan. Saat ini, Kelurahan Ragunan berada di wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Saya sendiri pernah menulis ulasan singkat soal ini di Kompasiana. Namun di sini saya akan mencoba menuliskannya lebih panjang. Terlebih, setelah beberapa bulan yang lalu saya sempat melakukan penelusuran lapangan.
Ragunan berasal dari kata Wiraguna. Wiraguna adalah nama lain dari seorang asli Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel (sekitar tahun 1689). Ia mendapat gelar kehormatan dari Sultan Haji, nama lain dari Sultan Banten, Abu Nasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa). Sehingga ia disebut Pangeran Wiraguna. Cardel mendapat gelar pangeran karena menjadi tuan tanah pertama di kawasan tersebut. Wiraguna sempat masuk Islam, dan kemudian kembali lagi ke agama nenek moyangnya, yaitu Kristen.
Keberadaan seorang tokoh di dalam sejarah non-fiksi akan terbuktikan kebenarannya bila telah diketahui makamnya. Alwi Shahab, di dalam sebuah bukunya tentang sejarah Jakarta, mengaku belum mengetahui jejak makamnya. Bahkan kata dia mayoritas warga Ragunan juga tidak banyak mengetahui sejarah Ragunan apalagi makamnya. Kisah tentang Ragunan seakan menjadi mitos belaka. Nama Wiraguna seakan hanya kisah fiktif belaka. Benarkah nama Ragunan hanya sebuah mitos belaka?
Kendati banyak literatur yang membahas nama Pangeran Wiraguna ini merupakan nama tuan tanah Belanda, warga sekitar Ragunan lebih mengenal sosok Pangeran Wiraguna ini merupakan prajurit kerajaan Mataram.
Menurut warga RT 05/03 Kampung Pekayon, Kelurahan Ragunan, Pasar Minggu, Jaksel, Rokip (56), Pangeran Wiragunan merupakan prajurit keraton Mataram yang dengan gigih berjuang melawan Belanda di Batavia. Demikian laporan koran Sindonews.
Anak mantan kuncen makam Pangerang Wiraguna ini menuturkan, berdasarkan cerita yang didapat dari ayahnya, Wiraguna itu berasal dari kata Wiro dan Guno. "Wiro itu artinya pasukan dan Guno keraton. Jadi bisa diartikan Wiroguno itu pasukan keraton," terangnya kepada Sindonews di rumahnya.
Tidak jauh dari Taman Margasatwa Ragunan, sekitar 3-5 km ke arah utara, terdapat sebuah gang bernama Wiraguna. Gang kecil tersebut berada di seberang kampus LIPIA. Sekarang berada tepat di samping selatan Pejaten Village (Lippo-Group). Sehingga, nama Wiraguna sangatlah populer di kalangan mahasiswa LIPIA. Tidak jarang mahasiswa kampus Arab ini semenjak gedungnya dipindah ke jalan Buncit Raya, banyak mahasiswanya yang ngekos di gang ini. Kendatipun demikian, tidak banyak mahasiswa LIPIA yang mengetahui keberadaan makam pangeran Wiraguna. Bahkan, saya sendiri, yang pernah kuliah di kampus tersebut, selama tujuh tahun tidak pernah mengetahui dan mengunjungi makamnya. Jejak kebenaran kisah tersebut bukan sekedar mitos sudah mulai terbuka titik terangnya.
Lebih lanjut, menurut informasi di sebuah blog (jakasura.wordpress.com), makam Pangeran Wiraguna terletak di perempatan Republika Pejaten Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tepatnya di belakang apartemen samping kampus LIPIA ke arah kelurahan Pekayon-Kemang via Perempatan Republika. Sebagai bukti nyata, blog ini menampilkan sejumlah gambar foto yang dijepret oleh pemiliknya.
Berkunjung Ke Makam Pangeran Wiraguna
Sekitar dua bulan yang lalu, ketika ke Jakarta untuk mengikuti sebuah acara, saya berkesempatan untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut.
Pagi itu (7/02/2015), saya mengambil motor yang sudah beberapa hari dititipkan di parkiran Stasiun Pasar Senen. Setelah melewati jalan raya Kuningan, saya belokkan motor ke arah kanan, menuju Polda Metro Jaya, untuk membayar pajak motor. Dari sana saya pulang ke tempat persinggahan saya di Masjid Al-Furqon, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan melewati Kebayoran Baru-Masjid Agung Al-Azhar-Blok M-Cilandak-Pekayon-Jatipadang. Masjid tempat singgah saya tersebut bersebelahan dengan gang Wiraguna.
Siang itu, cuaca di bilangan Jakarta Selatan cukup panas, lebih tepatnya cerah. Ketika motor yang saya kendarai melintas di depan jalan Pekayon menuju perempatan Republika-Pejaten Village, saya teringat di dekat situ terdapat makam Pangeran Wiraguna. “Ini kesempatan untuk menelusuri jejak makam tersebut.”
Dan, ternyata benar, tepat di depan saya, di kiri atas jalan raya terdapat sebuah papan penunjuk jalan berwarna coklat tertulis “Makam Pangeran Wiraguna” dengan anak panah mengarah ke selatan. Motor saya pelankan saat berbelok turun ke arah timur, perempatan Republika. Kondisi jalan yang berbelok tajam lagi menanjak bisa jadi membuat sebagian orang enggan untuk berhenti di sana, apalagi sekedar mampir mengunjungi sebuah makam seseorang yang belum dikenal. Apalagi bila lokasi makam tersebut tidak begitu ramai dan kelihatan dari jalan raya.
Di lereng belokan tersebut saya berhentikan motor, tepat di depan seorang penjual tanaman taman.
“Assalamu’alaikum. Permisi pak, mau tanya. Bapak tahu di mana letak makam Pangeran Wiraguna?” tanya saya kepada pria paruh baya berpeci hitam.
“Wa’alaikumussalam. Oh, di situ Mas. Di belakang bengkel tambal ban, ada sebuah gang kecil.” Jawab pria tersebut, sambil menunjuk ke arah selatan, seberang jalan.
Mendengar jawaban tersebut saya langsung menyalakan motor dan berputar balik, sedikit. Namun, di dalam hati masih bertanya-tanya, “masak sih di belakang tukang tambal ban itu?” Pasalnya, gang tersebut memang kecil, hanya muat satu motor. Letaknya yang berada di balik bengkel kecil juga membuat kebanyakan orang tidak mengira bahwa di sana ada sebuah gang. Kembali aku bertanya kepada seorang pria penjual tanaman di dekat bengkel tersebut.
“Oh, itu Mas. Itu di ujung gang. Masuknya dari bengkel tambal ban itu.” Aku mendapatkan jawaban yang sama.
Gang tersebut bersebrangan dengan AIS (Australia International School) sebuah sekolah milik Australia. Tampak, di depan gerbang besar yang terbuka itu, seorang satpam berseragam biru dongker kehitaman. Gerbang tersebut sangat kontras dengan pintu masuk ke arah makam Sang Pangeran. Jangankan sebuah gapura megah, bahkan sebuah nama petunjuk makam pun tak menghiasi mulut gang menuju makam. Tiadak ada tanda-tanda bahwa di ujung gang terdapat makam seorang pangeran. Dan, pengunjung makam cukup puas disambut oleh tukang tambal ban.
Siang itu terasa menyengat. Jarum jam di ponsel menunjuk angka 11. Segera saya menuju bengkel kecil itu. Ada dua pria tukang tambal ban yang menjaga bengkel itu.
“Bang, di ujung gang ada makam Pangeran Wiraguna, ya?” saya kembali bertanya memastikan. Sebab, gang tersebut memang kecil dan sangat sepi.
“Bisa saya naiki motor?”
“Oh, bisa.”
Pelan. Motor saya nyalakan, memasuki gang dari tengah bengkel kecil itu. Di kiri gang, terdapat tembok yang cukup tinggi, sekitar tiga meter. Sementara di samping kanan gang terdapat satu dua rumah kecil. “Barangkali milik tukang tambal ban dan penjual tanaman tadi.” Gumamku.
Tepat di ujung gang, terdapat sebuah gubuk kecil. Di belakang gubuk itu ternyata terdapat pekuburan. Gang kecil itu mengarahkan kita berbelok ke kiri. Dan, ternyata tepat hadapan kita terdapat beberapa kuburan yang cukup banyak. Kebetulan, ada seorang pria pejalan kaki yang sedang lewat.
“Pak, yang mana makam Pangeran Wiraguna?”
“Itu, yang ada di dalam rumah.” Tampak sebuah rumah kecil berukuran sekitar 4x6 di atas sebuah bukit kecil. Saya pun menapaki jalan menanjak beralaskan paving itu menuju ke sana. Jalan berukuran sekitar satu meter menuju ke rumah tersebut berpaving. Di kanan kirinya dihiasi pohon-pohon kecil berdaun hijau merah, setinggi sekitar tiga meter. Entah apa namanya.
Saya berhenti tepat di depan pagar setinggi pusar saya. Pagar besi itu kusi karatan dan sudah rusak. Rumah kecil itu tampak sepi. Saya pun memasuki pagar yang tidak terkunci itu. Ternyata, rumah itu berpintu dan pintunya terkunci rapat.
Saya membalikkan badan. Tepat lurus arah mata memandang ke timur, sebuah dinding besar tinggi menjulang. Tampaknya itu punggung gedung Apartemen Pejaten yang tepat berada di samping utara Kampus biru LIPIA.
“Wah, gagal dong, ziarahnya!” Gumamku dalam hati. Aku pun berbalik arah menuju ke sebuah rumah yang tepat berada di ujung gang tadi.
“Assalamu’alaikum.” Sapa saya kepada seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang sedang santai di depan rumah itu.
“Wa’alaikumus salam.”
“Maaf Bang. Abang tahu juru kunci makam Pangeran Wiraguna? Saya mau berziarah.”
“Oh, sebentar ya, Mas.”
Pria itu pun masuk ke dalam rumah. Tak lama, sebuah kunci pun diberikannya pada saya. Ternyata pria tersebutlah juru kuncinya.
“Terima kasih, Bang.”
“Ya, sama-sama.”
“Alhamdulillah, ternyata kesampaian juga.” Ucap saya di dalam hati.
Akhirnya, saya pun bergegas balik arah menuju makam tersebut. Tak lama, saya sudah berada di depan pintu rumah tersebut dan bersiap membukanya. Tak sabar rasanya.
Dan, meskipun sebagaimana disebutkan oleh Alwi Sahab bahwa Pangeran Wiraguna kembali masuk ke agama nenek moyangnya, Kristen alias murtad. Ternyata, makam yang ada di hadapan saya tidak menunjukkan sebuah pemakaman ala Kristen. Sama sekali tidak ada tanda palang, salib. Makam tersebut lebih menunjukkan sebagai makam Islam. Terlebih, di sekeliling makam tersebut terdapat pekuburan warga muslim. Di atas pintu makam tersebut terdapat sebuah papan berisi tulisan tentang tujuan ziarah kubur. Di bagian atasnya terdapat ayat Al-Qur’an surah Yunus : 107 berikut terjemahannya, yang intinya peringatan agar tidak menyembah kepada selain Allah.
Saya pun berhasil membuka pintu tersebut. Lantai rumah makam tersebut berlantai keramik putih. Bagi peziarah terdapat gelaran hambal berwarna hijau tua yang terhampar di depan pintu. Sementara kuburan tepat berada di tengah bangunan itu. Kuburan Sang Pangeran berada di bawah sebuah ranjang berkelambu putih. Kuburan dan ranjang tersebut dipagari besi. Di pagar bercat hijau tersebut terdapat tulisan Arab “Allah” dan “Muhammad”.
Sementara itu, tepat di samping pagar, terdapat beberapa buku Yasin dan Tahlil yang tertumpuk di atas sebuah meja lekar kecil. Namun, tepat di atas tumpukan buku tersebut terdapat sebuah papan berwarna putih bertuliskan:
“PERINGATAN. Banyak orang tersesat karena mereka mengharapkan berkah dari makam, seperti berkahnya: Maunah-Karomah-Ilmu-Harta- Seseorang. Maka, jadilah ziarah ke makam untuk Mengingat Mati. Insya Allah selamat dunia dan akhirat. Aminn..”
Di atas papan peringatan tersebut terdapat kotak bergembok. Mungkin semacam kotak infak untuk perawatan makam.
Melihat pemandangan tersebut, saya bertanya-tanya di dalam hati. Benarkah pangeran Wiraguna kembali ke agama nenek moyangnya? Bila benar, mengapa ia dikuburkan bukan selayaknya orang Kristen, dan diperlakukan selayaknya orang Islam? Adakah ia kembali masuk Islam di akhir hayatnya? Ataukah memang ia telah murtad, namun orang-orang kala itu tidak mengetahuinya? Teka-teki yang belum terjawab. Barangkali ada pakar sejarah yang mengetahui informasi ini. Aku sendiri belum tahu. Bahkan, sekelas Alwi Sahab saja mengaku belum tahu keberadaan makam ini.
Setelah mengunci pintu, aku pun segera balik.
“Terima kasih, Bang. Ini kuncinya.” Ucapku kepada juru kunci, seraya memberikan sedikit tip untuknya.
“Sama-sama. Sudah ya? kok Cuma sebentar!”
“Iya, Bang. Sekedar pengen tahu saja. Sudah mau adzan Zhuhur.”
Saya pun segera menaiki motor, menuju tempat persinggahanku.
Di sana, saya tidak lama. Sebab, beberapa waktu lagi waktu Zhuhur akan segera tiba. Meskipun kunjungan ini menyisakan teka-teki, saya bersyukur. Semoga suatu saat akan mendapatkan jawabannya.
Semoga bermanfaat. Dan selamat berkunjung, menelusuri jejak sejarah pendahulu kita.
Cirebon, 31/03/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H