Lihat ke Halaman Asli

Tanah Kita, Tanah Surga

Diperbarui: 28 April 2016   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bukan ustadz. Kalau tulisan ini diselimuti nuansa agamis, anggap saja itu tidak sengaja. Kalau kalian cukup gaul dengan masa lalu, maka tak asing dengan judul tulisan ini. Sebuah penggalan lirik dari lagu berjudul “Kolam Susu” yang dipopulerkan grup musik legendaris Koes Plus pada era 1970-an.

“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai, tiada topan kau temui, ikan dan udang datang menghampirimu, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Saya tidak bermaksud mengkritisi lirik tersebut. Bukan tidak mau tapi tidak mampu. Justru setiap kali mendengar syair itu, terkadang saya bertanya-tanya, ingin membuktikan dan langsung buru-buru memandangi ke arah tanah. Kagum.

Betapa Koes Plus telah meninggikan derajat tanah lewat musik. Tanah itu adalah tanah yang setiap hari kita injak bahkan kita ludahi. Tapi Koes Plus mengatakan, itu tanah surga.

Pengetahuan saya tentang surga sangatlah minim. Paling-paling sepenggal ingatan dari guru ngaji sewaktu kecil dulu, atau bacaan-bacaan yang sempat diajarkan di sekolah dasar.

Konon, surga adalah sebuah tujuan, pemberhentian terakhir setelah melakukan perjalanan panjang melalui terminal bernama kehidupan dan kematian. Mainstreamnya begitu.

Dan, membicarakan surga tak lepas dari pahala dan dosa. Amal baik dan amal buruk. Lantas apa hubungannya dengan tanah?

Percayalah, ada kalanya hidup kalian mengalami jeda. Sebuah waktu dimana kalian hanya ingin duduk santai. Cerita tentang tanah ini muncul dalam suasana seperti itu. Bersama seorang teman, mendengar suara musik mengalun lamat-lamat. Sesungguhnya, saya sendiri tak menyangka akan membicarakan soal tanah lumayan serius.

“Mereka yang selama ini mengolah tanah lalu menanaminya, sebenarnya adalah orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Semoga mereka masuk surga!”ujarku mengeluarkan semua yang terlintas di kepala. Akibatnya, meski kawan tadi terlihat bengong, wajahnya menyelidik.

“Kenapa tidak menanami sisa tanah di pekarangan rumah kita masing-masing? Itu lebih baik ketimbang membiarkan rumput menghijau.”Awalnya saya berharap jawaban itu bisa menuntaskan rasa penasarannya. Alamak, ternyata tidak.

Lantas bagaimana dengan mereka yang merusak tanah di luar sana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline