Sahabatku, pernahkah Anda mendengar istilah personal branding? Kalau belum, jangan panik. Ini bukan nama parfum baru atau istilah rumit yang hanya dipahami CEO startup. Bagi banyak orang, istilah ini terdengar seperti sesuatu yang rumit, penuh strategi, atau sekadar jargon pemasaran. Konsepnya sederhana: personal branding adalah kesan yang kita tinggalkan lewat tindakan kita yang konsisten. Dan, percaya atau tidak, sejarah istilah ini berasal dari... sapi. Ya, sapi!
Dahulu, di Amerika, peternak sapi menandai hewan mereka dengan besi panas yang diberi simbol atau tulisan tertentu. Biasanya tanda itu ditempel di paha sapi---tepat di bagian yang, kalau sapi bisa ngomong, pasti dia protes karena itu bagian aesthetic-nya. Tanda ini berguna supaya kalau sapinya nyasar ke peternakan sebelah, langsung ketahuan, "Oh, ini sapi si Bob." Nah, dari sinilah istilah branding lahir.
Jadi, branding itu bukan apa yang kita klaim sendiri. Misalnya, Anda bilang, "Saya orangnya lucu." Tapi teman Anda malah bilang, "Ah, garing!" Branding itu apa yang orang lain tempelkan pada kita berdasarkan apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami saat berinteraksi dengan kita.
Kalau Anda ngaku storyteller, tapi ceritanya bikin orang ngantuk, ya branding Anda mungkin jadi "pengantar tidur profesional," bukan storyteller, heuheu.
Sebagai seorang hipnoterapis sekaligus penulis buku, saya melihat personal branding seperti sebuah kisah yang kita ceritakan kepada dunia. Bukan sekadar apa yang kita katakan, tetapi juga apa yang kita lakukan. Konsistensi kita dalam tindakan, nilai-nilai yang kita pegang, dan dampak yang kita berikan kepada orang-orang di sekitar kita.
Misalnya, melalui terapi yang saya lakukan, saya selalu berusaha membantu orang menemukan kebahagiaan mereka sendiri dengan menceritakan berbagai metafora yang relevan.
Sebagai hypnotherapist, saya percaya bahwa cerita dan metafora adalah kunci menembus pikiran bawah sadar. Bayangkan saya sedang melakukan terapi. Kalau saya bilang, "Relaks saja, biarkan stresmu pergi," biasanya klien cuma manggut-manggut. Tapi kalau saya bercerita, "Kebahagiaan itu seperti sapi liar di padang sabana. Kalau kamu kejar, dia lari. Kalau kamu diam, dia datang mendekat."
Nah, baru mereka paham. Dan karena saya sering menggunakan cara ini, orang-orang mulai mengenal saya sebagai "si terapis yang suka bercerita." Branding saya menempel bukan karena saya bilang, "Saya storyteller," tapi karena tindakan saya konsisten
Lalu, bagaimana kita membangun personal branding yang kuat? Berikut beberapa tips yang bisa Anda coba:
1. Kenali Nilai-Nilai Anda
Personal branding yang kuat berakar dari pemahaman diri. Apa yang benar-benar penting bagi Anda? Apa yang Anda perjuangkan? Sebagai contoh, saya percaya bahwa cerita bisa dengan cepat menembus pikiran bawah sadar, dan inilah nilai yang selalu saya usung dalam setiap karya dan interaksi saya.