Sebagai warga Purwakarta, awalnya Saya merasa sangat bangga tulisan bupati Saya dapat dimuat disalah satu Harian nasional dalam rubrik ‘Opini Nasional’. Opini yang dimuat sebagian besar bernafaskan budaya, pendidikan dan moral. Namun setelah Saya baca, meski Saya awam dalam bidang-bidang tersebut, Saya menemukan ide-ide dalam opini Pak Bupati yang tidak korelatif satu sama lain serta bersebrangan dengan apa yang Saya yakini dan pahami.
Berikut Saya tulis sebuah tanggapan kritis atas opini yang ditulis Bupati Purwakarta Pada Tanggal 8 Desember 2014 di Harian Sindonews.com. Sebisa mungkin opini ini Saya tulis tanpa tendensi dan objektif . Semoga Penulis bisa menerima dengan objektif juga.
Dalam opini ini penulis mengambil tema mengenai sistem pendidikan di Indonesia yang mengasingkan orang Indonesia itu sendiri. Melihat sekilas judulnya, Saya tadinya beranggapan opini ini dapat dieksekusi dengan mumpuni. Opini dibuka dengan fakta yang cukup menarik, menggugah namun terkesan janggal : “Kini kelas penuh sesak dengan buku pelajaran bahkan ada yang mencapai 21 jenis pelajaran, berarti ada 21 jenis buku.” Data Apa yang mendasari ide paragrafini? Apakah sudah ada riset sebelumnya?. Berdasarkan kurikulum 2013, jenjang sekolah dasar hanya mengajarkan sekitar 7 mata pelajaran1. Kurikulum KTSP yang dikenal lebih banyak mata pelajarannya pun, hanya memuat 10 Mata Pelajaran. Jadi yang perlu dipertanyakan, jenjang mana yang penulis maksud memuat hingga 21 mata pelajaran ? SMP? Atau sekolah kejuruan?
Berdasarkan kurikulum KTSP, bahkan jenjang SMP ternyata hanya mengajarkan 11 Mata pelajaran. 11 mata pelajaran tersebut sudah termasuk mata pelajaran olah raga dan keterampilan2dan angka ini, orang awampun dapat menilai jauh dari angka 21, penulis jelas menunjuk jenjang lain. Mungkin yang penulis maksud 21 mata pelajaran adalah jumlah pelajaran pada jenjang setingkat SMK atau D3. Saya fikir lazim karena jenjang tersebut sudah mengarah pada spesialisasi dengan konsekuensi subjek yang dipelajari semakin detail, mapping pelajaran menjadi terpecah agar lebih mudah difahami. Ketika Saya sekolah dulu, mata pelajaran IPA dipecah menjadi biologi, fisika dan kimia. Hal ini memang perlu dilakukan untuk memudahkan proses pembelajaran.
Dengan mengacu pada paragraf pertama yang mengulas mengenai jumlah mata pelajaran, Paragraf kedua diawali dengan opini yang dicoba diangkat oleh penulis mengenai semakin memudarnya kesadaran guru atas fungsinya sebagai pendidik. Kalimat “Guru tak punya ekspresi, miskin ide imajinasi karena dia kini tidak lagi mewakili Tuhan penyampai obor kebenaran” mencuatkan –lagi lagi- tanda tanya besar. Dasar apa yang membuat penulis menggelontorkan opini ini. Guru sebagai pendidik tentu telah mafhum dengan tugas serta fungisnya yang mendasar. Guru memang bukan manusia sempurna yang bisa membawa ‘obor’ kebenaran itu kemana-mana, namun menurut Saya guru masih memiliki hati nurani untuk menyampaikan kebenaran. Akan sangat sakit rasanya jika mereka di-cap sebagai seorang yang tidak lagi bertugas sebagai pembawa kebenaran.
Kualitas guru di Indonesia bukan buruk karena guru tak punya kreatifitas dan ekspresi, apalagi dituding tidak mewakili Tuhan menyampaikan obor(obor?) kebenaran. Pemikiran kita perlu dibuka lebar-lebar untuk menelaah pernyataan yang amat tradisional ini, mari kita lihat fakta. Jelas bahwa kualitas pendidikan Indonesia rendah karena minimnya skill guru dalam menciptakan inovasi dalam praktik pendidikan. Minimnya inovasi itu diantaranya dikarenakan guru tidak memiliki akses yang terjangkau untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan maupun workshop tentang ilmu pedagogik4. Standardisasi guru belum memenuhi harapan. Hasil uji kompetensi guru pada tahun 2012 terhadap 460.000 guru hanya mencapai angka 44,5, jauh dibawah standar yang diharapkan yaitu 70 3. Pengamat pendidikan Muhammad Basit bahkan menambahkan hal lain yang mengerdilkan dan melemahkan posisi guru untuk berkembang di daerah salah satunya karena otonomi daerah juga. Di daerah banyak guru terjerat korban politik.4
Paragraf ketiga dan keempat sama sekali tidak menunjukan hubungan dengan paragraf-paragraf sebelumnya. Pada Paragraf kedua dan ketiga, penulis mencoba memaparkan kelemahan diberlakukannya pekerjaan rumah untuk peserta didik. Sayangnya, pada paragraf selanjutnya, penulis melompat jauh dengan menjelaskan bahwa yang membuat penat anak sekolah adalah karena nonton sampai malam dan keluyuran hingga pagi : “Di rumah mereka mengalami kepenatan akibat selain pekerjaan sekolah yang harus dikerjakan, nontonsampai larut malam atau bermain permainan ‘mekanikal’, keluyuran keluar hingga larut malam dan menjelang subuh mereka buruburu pulang karena takut datangnya sang fajar”. Sungguh Saya tidak mengerti keterkaitan antar kalimat dalam paragraf ini. Dan satu lagi, Saya sebagai orang awam perlu mendapatkan pemahamantentang apa itu permainan ‘mekanikal’?
Beranjak ke Paragraf enam. Sebenarnya paragraf keenam memiliki potensi yang amat kuat untuk dikembangkan. Penulis mencoba menuangkan ide mengenai indikator kepandaian. Menurut penulis, kepandaian seorang siswa tidak hanya bisa diukur dari segi kognitifnya saja, namun diukur atas kecakapan mereka untuk menuangkan kemampuan kognitifnya dalam tataran implementasi.
Meski paragraf keenam ini potenisal, namun penulis menyajikan analogi yang agaksedikit rancu. Analogi seorang siswa yang memiliki nilai biologi 9 namun mengalami gangguan asam lambung akibat kelebihan kebiasaan makan jajanan yang bercuka serta bersaus pedas merupakan contoh analogi terlalu dangkal. Menurut Saya bukan analogi cerdas untuk dipilih agar paragraf ini bisa dikembangkan lebih dalam.
Paragraf ketujuh dan kedelapan lagi-lagi sulit ditangkap gagasan utamanya dan lagi-lagi sulit diurai benang merahnya dengan paragaf sebelumnya yang membahas mengenai kemampuan kognitif. Saya berspekulasi, mungkin penulis ingin menuangkan ide yang terinspirasi dari filosofi suku Baduy dan mengaitkannya dengan tema kognitif pada paragraf diatas. Penulis cenderung beranggapan bahwa sekolah formal merupakan isntitusi yang tidak perlu diselenggarakan, anak hanya perlu diberi pemahaman tentang kearifan lokal dan segala ilmu alam yang diajarkan oleh alam. Penulis menguatkan ide ini dengan mengutip pernyataan suku Baduy bahwa pelajaran formal bukan sesuatu yang penting.
Suku Baduy dengan segala kearifan lokalnya tentu memiliki sistem yang masih utuh dan kuat, namun, sebagai masyarakat yang telah maju, tidak relevan membandingkan realitas suku Baduy dengan kebutuhan kita yang hidup di dunia moderen. Mengenal dan memahami kearifan lokal bukan berarti harus meninggalkan pendidikan formal, Anda dapat mengenal berbagai suku di Indonesia sebagai seorang ahli antropolog, Anda dapat mengenal tanaman langka nusantara sebagai ahli botani atau insinyur pertanian, tentu akan memiliki nilai tambah.
Saya pikir, penulis akan terus konsisten membahas mengenai korelasi antara kemampuan kognitif dengan skill anak dalam tataran aplikatif, namun pada paragraf selanjutnya (Paragraf pertama dan kedua halaman ke dua) penulis spontan mengangkat tema mengenai jenjang pendidikan. Penulis beranggapan bahwa jenjang pendidikan dasar itu wajib dilaksanakan selama 9 tahun namun mengapa perpindahan antar jenjang perlu dilakukan melalui seperangkat ujian. Seperti yang diutarakan dalam opini : “kenapa anak diwajibkan sekolah sembilan tahun tetapi harus melewati masa seleksi untuk menuju kelas VII?”.
Ujian dalam setiap kenaikan jenjang atau tingkat saya pikir menjadi hal yang lumrah. Bagaimanapun, evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Yang perlu diperbincangkan tentu bukan mengenai ada atau tidaknya ujian, namun metode evaluasi apa yang perlu diaplikasikan agar evaluasi tersebut benar-benar secara utuh dan adil dapat mengukur kemampuan siswa hingga siswa tersebut dianggap mampu memasuki jenjang selanjutnya. Wajib belajar 12 tahun bukan berarti siswa harus belajar tanpa penjenjangan dan tanpa evaluasi. Di akhir paragraf ke dua penulis menutup paragraf dengan kalimat yang saya tidak mengerti maksud dan korelasinya dengan uraian sebelumnya mengenai jenjang pendidikan :”Rasa tidak percaya diri terhadap sistem yang kita miliki adalah produk kegenitan kaum intelektual yang sok luar negeri”
Paragraf-paragraf di halaman ketiga sedikit mengulas mengenai Playgruop. Penulis beranggapan bahwa playgroup atau taman kanak-kanak merupakan jenjang pendidikan yang menjauhkan anak-anak dari keluarga. Sayar pikir hal ini tidak sepenuhnya benar. Menurut ditjen PAUD, Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional.Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya.5 Saya merasa, PAUD yang dulu saya jalani membawa manfaat untuk diri saya. Minimal saya memiliki teman baru di luar teman satu kampung saya, saya merasa kemandirian dan kedisiplinan saya dipupuk salah satunya oleh jenjang ini. Saya pun mersa memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik dari pada yang tidak melalui jenjang PAUD pada saat itu. Jika PAUD bermasalah, jangan tutup PAUDnya, tapi evaluasi sistemnya. Misalkan evaluasi bisa dilakukan terhadap jumlah jam PAUD serta sistem dan bobot pengajaran yang diberikan. Selama sistem pada jenjang ini diramu dengan komposisi yang pas, saya rasa PAUD tidak akan menjauhkan anak-anak dari keluarganya.
Halaman terakhir paragraf terakhir ditutup dengan kalimat yang sulit saya urai benang merahnya dengan kalimat-kalimat dan paragraf sebelumnya: “Ceu Nining menggerutu lieur (pusing). Pendidikan yang serbaasing teh, membuat kita semakin terasing dan pusing tujuh ke-liling karena mikirin utang ke bank keliling”. Pendidikan mana yang serba asing? Dan apa korelasi antara sistem pendidikan dengan hutang? Jika dirunut mungkin ada korelasinya, namun amat jauh.
Saya mafhum betul bahwa setiap orang memiliki kebebasan dalam menyuarakan opini, dalam menyusun kata demi kata untuk menyuarakan pendapat. Namun sebagai seorang kepala daerah, menurut hemat saya penulis sudah selayaknya memiliki seorang advisor dalam bidang tata bahasa, agar opini yang dituangkan benar-benar berlandaskan fakta, komprehensif namun tetap runut. Semoga tanggapan awam ini bisa membuat terutama saya pribadi dan pembaca mampu melihat masalah lebih dalam, serta semoga menjadi masukan yang bermanfaat bagi penulis. Salam bakti untuk Purwakarta
Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan
- http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/3571
- http://www.antaranews.com/berita/468042/pengamat-keberadaan-ditjen-guru-akan-mampu-tingkatkan-kualitas-pendidikan
- http://paudni.kemdikbud.go.id/segment/19.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H