Di saat itu, di kehidupan kampung yang jauh dari teknologi, tanpa lelah aku menyusuri sawah selepas waktu isya', terus membawa lampu petromak berjalan di pematang sawah, bersama-sama dengan teman-teman, ceria, di malam itu.
Di kampung itu, konon, menurut ibuku, ketika Presiden Republik Indonesia menuju kampung Bendogerit untuk persemayamannya yang terakhir, aku diajak berdiri di pinggir jalan dalam gendongan ibuku, begitu setianya masyarakat di sana ketika itu menanti dan menunggu mobil keranda membawa jenazahnya untuk melewati kampung Selorejo di ujung timur wilayah kabupaten Blitar.
Berbekal keyakinan yang utuh, malam itu akan mendapatkan rejeki yang melimpah, di saat persiapan lahan sawah untuk musim tanam padi, hamparan sawah malam itu terasa lapang tanpa sebiji tanaman yang menghiasinya. hamparan sawah baru dibajak dan dicangkul disiang harinya, lalu digenangi air agar lembut dan semakin lembek tanahnya, di saat seperti itu, biasanya belut akan bermunculan di malam harinya, mungkin engap dan mencari udara segar, dan saat kemunculannya terjadi, lalu Crak, sebuah sabit atau benda keras akan memecahkan kepala si belut, dan akhirnya....masuk kantong plastik atau ember yang kami bawa......
Suasana menjadi sangat panas dan terlalu bersemangat, untuk terus berburu belut dan ikan, alias nyuluh.......he he he, itu sebuah kebiasaan di sebuah kampung pedesaan yang menjadi hiburan bagi para kaum muda petani di sana. Hingga saat ini, sudah lebih dari 30 tahun ku tinggalkan kampung Kakekku, di sudut timur kabupaten Blitar, hampir mendekati waduk Sutami Karangkates, aku dilahirkan kebiasaaan itu masih berlanjut dan menjadi sesuatu yang sangat berkesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H