Lihat ke Halaman Asli

Hari Nugraha

Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Opini terhadap Putusan Mahkamah Agung terkait Uji Materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 20 Tahun 2018

Diperbarui: 23 Oktober 2022   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : https://gokepri.com/mantan-koruptor-boleh-ikut-jadi-caleg-di-pemilu-2024/

MENGKAJI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

Mahkamah Agung telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu (KOMPAS, 14/09/2018). MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (Caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Dalam konteks ini, keputusan hukum yang telah diambil dapat dikaji dengan pendekatan sosiologis, normatif bahkan kritis sesuai konteksnya.

KAJIAN

Di negara demokrasi pemilihan umum dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi juga dapat dimanipulasi untuk tujuan yang tidak diinginkan lebih lanjut. Akibatnya, pemilu tidak bebas nilai sebagai hasil rekayasa. Pemilu direncanakan dan diadakan, misalnya, terutama untuk menegakkan rezim atau kelas penguasa di negara-negara non-demokrasi. Mereka adalah perwakilan "semu" karena mereka diciptakan melalui pemilihan semacam itu.

Garis pertahanan pertama suatu bangsa adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) khususnya dalam penyelenggaraan pemilu yang mewakili struktur negara demokrasi. Komisi ini harus berinteraksi langsung dengan pemerintah dan masyarakat luas selain partai politik yang mencalonkan diri dalam pemilu. Di satu sisi, KPU bekerja untuk memajukan dan melindungi kepentingan semua orang (partai politik, pemerintah, dan masyarakat). Di sisi lain, ketika kepentingan banyak pihak terkendala, KPU harus sangat konsisten menegakkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyetujui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum 2019. Namun, pembentukan PKPU bukannya tanpa kontroversi; ada klausul yang melarang mantan Pejabat koruptor mencalonkan diri, yang sekarang sedang dibahas. Pasal 4 ayat (3) mengatur bahwa “pemilihan calon yang demokratis dan transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk mantan narapidana pengedar narkoba, kekerasan seksual terhadap anak, dan korupsi”. Selanjutnya diperkuat dengan Pasal 7 Huruf G yang berbunyi, “Terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tidak diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.”.

   Pasal 4 ayat (3) dan 11 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota tentang Larangan Mantan Narapidana Kasus Korupsi, Pengedar Narkoba, dan Kejahatan Seksual terhadap anak calon anggota legislatif (Caleg) pada Pemilu 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya, yang diumumkan pada 13 September 2018. Mahkamah Agung memutuskan bahwa peraturan tersebut melanggar undang-undang tersebut di atas.

Putusan Mahkamah Agung membuka pintu untuk perdebatan hukum baru. Kontroversi tersebut berpusat pada fakta bahwa, sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung wajib menghentikan pengujian undang-undang dan peraturan jika undang-undang yang menjadi dasar peninjauan kembali juga sedang dipertimbangkan oleh dan sampai keputusan dibuat oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota merupakan implementasi dari Undang-Undang-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Putusan Mahkamah Agung memiliki keuntungan dan kerugian, dan para juru kampanye antikorupsi menyesalinya. Perjuangan mereka untuk membersihkan badan legislatif dari pejabat korup telah berakhir. Publik memaknai putusan Mahkamah Agung sebagai pembuka pintu bagi koruptor untuk maju dalam pemilihan legislatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline