Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Pendidikan Guru Penggerak Sumber: dokumen pribadi
Dalam pembelajaran modul Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang saya dapatkan, memberikan arti penting dalam perjalanan hidup menjadi guru. Banyak ilmu dan wawasan baru yang saya dapatkan, mulai dari konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara sampai budaya positif yang kesemuanya berlanjut dan saling terkait. Peran saya sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) selama mengikuti PGP berusaha mengaplikasikan teori-teori yang sudah saya pelajari. Mind set saya berubah dalam pembelajaran, yaitu berpihak pada murid sesuai konsep “menuntun” dan menjalankan “sistem among”. Implikasinya dengan memulai bagian ini terlebih dahulu maka saya dapat memerankan peran lainnya, seperti menjadi pemimpin pembelajaran dan mewujudkan student agency.
Di setiap pembelajaran di kelas saya mengutamakan murid, sejauh mana murid enjoy dan menikmati pembelajaran, sehingga dengan demikian sesuai dengan visi saya yaitu murid yang beriman dan berbudi pekerti luhur, brilliant, cinta literasi, dan berkarakter profil pelajar pancasila dapat terwujud. Hal ini saya gunakan Inkuiri Apresiatif (berpikir aset daripada defisit dan berbasis kekuatan) dengan metode BAGJA (model manajemen perubahan) sebagai prakarsa perubahan saya untuk sekolah yang saya usulkan kepada kepala sekolah sehingga ada tindakan untuk mendukung visi saya, diantaranya mengadakan pengimbasan pendidikan guru penggerak kepada rekan guru di sekolah dengan menumbuhkan budaya positif dengan restitusi dan keyakinan kelas. Peran sebagai choach, mendorong kolaborasi, dan bersinergi dengan komunitas praktis sekolah telah terpenuhi dengan tetap menanamkan nilai-nilai berpihak pada murid, reflektif, mandiri, kolaboratif, dan inovatif.
Pemahaman saya tentang disiplin positif yaitu dengan menerapkan sistem kontrol yang dicetus oleh Dr. William Glasser yang mengatakan bahwa perbuatan memiliki tujuan, merubah stimulus respon menjadi teori kontrol. Sesungguhnya dengan menerapkan teori kontrol inilah muara dari disiplin positif dengan teknik restitusi. Dalam disiplin positif tidak mengenal hukuman, penghargaan, dan konsekuensi. Paradigma inilah yang harus di ubah menjadi paradigma restitusi. Dalam restitusi saya akan menemukan bahwa murid yang melakukan pelanggaran atau kesalahan harus dilihat dari upaya apa untuk perbaikannnya, tidak menjudge murid, tetapi melihat dari kesadaran murid untuk berubah dan bertanggungjawab berdasarkan motivasi intrinsik. Sebab motivasi intrinsik yang datang dari dalam diri murid akan lebih bertahan lama sehingga dapat merubah perilakunya menjadi lebih baik.
Diana Gassen (1988) seorang ahli yang merujuk pada teori kontrol mengaitkan nilai-nilai kebajikan sebagai dorongan seseorang untuk melakukan motivasi intrinsik sehingga mencapai tujuan mulia. Begitupun konsep Ki Hajar Dewantara yang mengatakan harus cakap memerintahkan diri sendiri. Artinya jadilah raja bagi dirimu sendiri yang memiliki kemerdekaan untuk mengatur diri (self control). Nilai-nilai kebajikan yang diharapkan terwujud dalam diri murid adalah nilai-nilai profil pelajar pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Budaya positif akan tercermin dari perilaku murid dan warga sekolah yang nampak dan terlihat, yang sesungguhnya perilaku tersebut merupakan buah dari nilai-nilai kebajikan yang telah ditanamkan. Ekosistem sekolah akan berjalan seimbang jika murid dan guru tahu akan peran, hak, dan kewajibannya masing-masing. Maka menerapkan restitusi melalui keyakinan kelas adalah jalan kebaikan menuju disiplin dan budaya positif. Keyakinan kelas merupakan nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersurat dan tersirat lepas dari latar belakang, suku, bangsa, negara, dan agama. Jadi keyakinan kelas lebih ‘abstrak” dari peraturan, namun mengandung makna dalam dan dapat menyadarkan seseorang.
Memang tidak mudah dan butuh waktu dalam menjalankannya dan hasil tidak akan saya ketahui sekarang, namun setidaknya saya sudah bergerak mempengaruhi rekan-rekan guru untuk melakukan segitiga restitusi (dialog restitusi) yang merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi dari masalah, dan membantu murid berpikir realistis, memulihkan dirirnya setelah berbuat salah, dan menghargai nilai-nilai kebajikan. Sehingga akan mewujudkan murid yang bertanggungjawab, merdeka, mandiri, percaya diri, dan bisa memecahkan masalahnya sendiri. Langkah-langkah segitiga restitusi yaitu: (1) menstabilkan identitas (hal terbaik akan dilaksanakan), (2) validasi tindakan yang salah (semua perilaku mempunyai alasan), dan (3) menanyakan keyakinan (motivasi internal).
Diana Gossen (1998) menyatakan ada lima posisi kontrol guru diantaranya, (1) sebagai penghukum, yang memberikan hukuman baik secara verbal dan non verbal, akibatnya menimbulkan dendam dan pemberontak bagi murid, (2) pembuat merasa bersalah, biasanya pada tipe ini guru suaranya datar, memelas, tenang, tetapi kata-katanya menyalahkan murid. Dampak pada murid, mengalami kegagalan identitas, rendah diri, lemah, dan menarik diri dari lingkungan. (3) posisi teman, sikap guru ramah, bersenda gurau, dan akrab dengan murid. Dampak bagi murid menjadi tergantung, tidak mandiri, identitas bisa berhasil bisa tidak. (4) posisi pemantau/monitor, suara guru datar, tidak emosional, dan guru mengarahkan murid berdasarkan peraturan dan konsekuensi. Dampaknya, murid akan menghitung konsekuensi dan hadiah, tanpa memahami nilai-nilai kebajikan yang dituju dan tidak sepenuhnya mandiri. (5) posisi manajer, suara guru netral, melakukan pertanyaan bermakna, dan membimbing murid untuk memecahkan masalah. Dampaknya, murid memiliki identitas positif / berhasil, mandiri, bertanggungjawab, merdeka, dan mampu memecahkan masalahnya sendiri.
Posisi kontrol yang paling ideal adalah posisi manajer, karena di posisi inilah guru berhasil melaksanakan segitiga restitusi. Hal ini tidak terlepas dari analisis guru dalam menghadapi kesalahan murid melalui pertanyaan bermakna dalam segitiga restitusi, yaitu hendaknya mengetahui kebutuhan dasar apa yang belum murid dapatkan dalam melakukan kesalahan. Murid melakukan kesalahan atau berperilaku buruk disebabkan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Ada lima kebutuhan dasar menurut Abraham Moeslow yaitu bertahan hidup (survival), merasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power).
Dengan demikian, maka saya mengalami pergeseran pemahaman tentang disiplin dan budaya positif. Hal ini membuka cakrawala berpikir saya akan makna restitusi dan keyakinan kelas. Dulu saya menganggap bahwa peraturan dan hukuman itu adalah hal wajar dan mutlak di sekolah. Tetapi kini setelah saya mengikuti pendidikan guru penggerak dan belajar di modul 1.4 tentang budaya positif, maka pola berpikir saya berubah 100 %. Menurut pendapat saya sesungguhnya keyakinan kelas/sekolah lebih afdol dalam menerapkan budaya positif karena ada nilai kebajikan bukan paksaan dan bersifat satu arah sebagaimana yang terdapat pada peraturan. Begitupun restitusi adalah cara efektif dalam membimbing murid yang berbuat kesalahan, tidak ada lagi hukuman, ganjaran, dan reward. Jadi menumbuhkan kesadaran anak akan kesalahan dengan teknik restitusi merupakan jalan terbaik dalam mewujudkan budaya positif di sekolah.
Pengalaman yang saya dapatkan dalam menerapkan konsep-konsep kunci budaya positif di kelas, murid-murid saya menjadi lebih bertanggungjawab akan tugas-tugasnya. Murid saya menjadi sadar tidak akan melanggar keyakinan kelas yang telah disepakati bersama. Contohnya, keyakinan kelas berupa penggunaan HP saat KBM, terbukti murid-murid menghargai keyakinan kelas tersebut dan merasa malu kalau melanggarnya. Segitiga restitusi yang saya jalankan sebenarnya sudah dilakukan sejak lama karena saya guru BK, cuma istilahnya berbeda, saya mempraktikkan teori-teori konseling kepada murid berdasarkan bidang keilmuwan yang saya peroleh.