Lihat ke Halaman Asli

Ketika Para Murid SLB-A Berjuang Melek Huruf Alquran

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SHALAT Jumat masih kurang dua jam lagi. Sebagian murid SLB-A di SLB Bintoro, Patrang, Jember, sudah mulai berkumpul di musala kecil nan sederhana. Sebagian besar memakain kaos olahraga. Di sekolah tersebut setiap Jumat memang diadakan olahraga bersama.

Setelah semua berwudhu, para murid yang duduk di bangku SMP dan SMA itu dibagi dalam beberapa kelompok. Sekitar lima sampai tujuh orang berkumpul pada seorang guru pembimbing. Untuk murid yang masih awal belajar Alquran braille, dibimbing oleh Yuli, seorang guru yang juga tunanetra. Sedangkan murid yang sudah telah mahir dibimbing Pisky Ari Setyowati, seorang guru pembimbing awas (sebutan untuk guru yang tidak tunanetra, Red).

Setelah itu, suara lantunan Alquran, baik yang sudah lancar maupun yang masih terbata-bata, sayup-sayup terdengar hingga di sekitar musala. Semangat mereka untuk belajar membaca Alquran braille tampak dari kesungguhan begitu telitinya jari-jemari mereka meraba setiap tonjolan aksara Arab di Alquran braille mereka.

Mengajak anak-anak disabel belajar membaca Alquran braille tidak mudah. “Jangankan mengajak mereka belajar Alquran braille, untuk belajar sehari-hari saja tidak mudah. Diberi PR pun kadang tidak dikerjakan,” aku Sudartiningtyas, seorang guru SMA LB di SLB Bintoro.

Beberapa tahun lalu tidak ada pengajaran Alquran braille di SLB Bintoro. Tetapi, sejak 2012, pengajaran Alquran braille menjadi semacam pelajaran muatan lokal di sekolah tersebut. “Pembelajaran Alquran braille ini inisiatif guru di sini. Para murid mulai dikenalkan huruf hijaiyah dalam aksara braille,” kata perempuan yang biasa disapa Sudarti itu.

Karena inisiatif guru, pengajaran Alquran braille bersifat insidental. Jika ada murid yang ingin menghafal Alquran, maka guru menyediakan audio murottal Alquran untuk dihafal murid.

Agar semua murid SLB A bisa belajar Alquran, Rahman Hadi, guru senior SLB Bintoro yang juga tunanetra, berinisiatif membentuk TPA (tempat pendidikan Alquran). “Di TPA sebenarnya tidak hanya belajar Alquran braille, tapi kajian ilmu-ilmu agama diajarkan pula di TPA yang dilaksanakan setiap Jumat,” katanya.

Saat ini TPA di SLB Bintoro diampu Pisky, seorang alumnus jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) IKIP PGRI Jember. Pisky ikut pula membimbing anak-anak tunanetra itu belajar Alquran. “Karena saya guru awas, saya bertugas membimbing anak-anak yang sudah lancar membaca Alquran braille. Saya bertugas membenahi tajwid (hukum bacaan dalam Alquran, Red), makhraj (tempat keluar huruf, Red) dan kelancarannya,” ujarnya.

Muhammad Ferianto merupakan salah seorang murid SMA LB A yang sudah lancar membaca Alquran braille. “Saya sudah sangat lama belajar Alquran braille ini. Mungkin sudah sejak tujuh tahun lalu,” ungkapnya.

Murid kelas XII itu mengaku, dirinya mendapat motivasi besar dari orang tua dan kakaknya untuk belajar Alquran di tengah ketiadaan indera pengelihatan. “Kalau orang tua saya tadinya hanya menyuruh saya untuk belajar dan menghafal Surat Yasin, Ar Rahman, Al Waqi’ah, dan Ar Rahman. Saya tidak tahu mengapa disuruh belajar surat-surat itu. Tapi, kalau kakak saya menyuruh untuk belajar membaca semua surat di Alquran,” tuturnya.

Dengan kesabaran membaja, Rahman Hadi membimbing murid yang biasa disapa Feri itu untuk belajar Alquran. Awalnya, dia sempat kesulitan untuk menghafal bentuk braille beberapa huruf Arab di Alquran.

Sebab, ada beberapa aksara yang bentuk braille-nya mirip dengan huruf yang lain. Sehingga, saat dibaca sering terbolak-balik. Saat ini Feri sudah menyelesaikan bacaan Alquran di juz 30, lalu juz 1 sampai 11. “Kalau baca di juz yang sudah saya lewati, insya Allah sudah bisa,” katanya.

Menurut Rahman, para pelajar tunanetra memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kemudahan akses belajar Alquran. Sebab, mendalami agama –termasuk bisa mengaji—merupakan hak semua orang tanpa membedakan apakah yang bersangkutan normal inderanya atau tidak.

Beruntung, selama ini ada beberapa lembaga nonpemerintah yang peduli dengan sulitnya akses pelajar tunanetra untuk belajar Alquran. Beberapa tahun lalu Rahman sebagai ketua Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) Jember diajak bekerjasama oleh Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Jember menyebarluaskan pembelajaran Alquran braille.

“Saat itu Ikadi mendapat hibah sejumlah Alquran braille. Lalu, saya bersama Ikadi menginisiasi berbagai program pembelajaran Alquran braille bagi tunanetra, baik untuk pelajar maupun nonpelajar,” tutur Rahman.

Pada 2012, ITMI bersama Ikadi Jember mengadakan Pelatihan Membaca Alquran Braille yang diikuti puluhan penyandang tunanetra dari Jember dan Bondowoso. “Kami berpikir, saudara-saudara kami tunanetra punya hak yang sama untuk bisa membaca Alquran sebagaimana kami yang normal,” ujar Agus Rohmawan, pengurus Ikadi Jember, soal kepedulian Ikadi pada penyandang tunanetra, itu.

Rahman berharap, pemerintah bisa menyediakan Alquran braille secara gratis bagi SLB di seluruh Indonesia. Sebab, harga satu Alquran braille 30 juz saat ini sekitar Rp 2 juta. Harga tersebut tergolong mahal bagi lembaga pendidikan luar biasa, apalagi bagi pribadi pelajar penyandang tunanetra.

Ketika matahari semakin meninggi, panas mulai menyergap. Tetapi, para pelajar SLB A itu tetap semangat mengaji Alquran braille. Lantunan ayat-ayat Alquran mereka menyelinap dari balik jendela dan pintu musala. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline