"COVID begini usaha suami saya menurun drastis. Mobil sudah saya over kredit ke orang. Tapi saya percaya saya bisa bangkit lagi dan berjuang untuk anak-anak saya," cerita Bu Yulandari dengan sedih. Pandemi telah merenggut kebahagiaan keluarganya.
Tapi kegigihan Bu Yulandari bisa terlihat dari kenekatannya berjualan sembako seadanya, bahkan tanpa warung fisik sekalipun.
"Awalnya saya Ibu Rumah Tangga, Pak. Tapi kemudian dengan modal cuma Rp 300 ribu saya nekatin berjualan telur bebek peking. Dititipi 20 kg," jelasnya dengan senyum mengambang.
Dengan keuntungan yang berhasil dikumpulkan, ia mulai menyewa tempat hingga Rp 250 ribu setiap bulannya. Namun jangan dibayangkan seperti warung sembako yang biasa kita kenal. Ia hanya berjualan bermodalkan meja yang ditempatkan di pinggir jalan dan kepercayaan dari distributor.
"Saya tuh cuma pedagang kecil di pinggir jalan Pak. Mana ada warungnya. Peralatan saya cuma satu meja untuk dagang saja," ungkapnya dengan sedih saat ditanya di mana lokasi warungnya.
Pun demikian, usaha ini tetap berkembang karena ia mengelolanya dengan jujur dan amanah. Distributor telur terus menambah jumlah titipan.
"Awalnya memang untungnya cuma bisa buat makan. Tapi Alhamdulillah lama-lama dititipi sampai 20 ikat telur setiap minggunya. Ya sekitar 300 kilo lah." Sebuah angka yang sebenarnya cukup fantastis mengingat Bu Yulandari hanya bermodal seadanya.
Namun membuka usaha jelas tak mungkin tanpa halangan. Awalnya ia menyuplai ke warung-warung sekitarnya, kini mereka malah berbalik menjadi saingan karena sudah mampu mengambil sendiri telur ke distributor.
"Usaha saya sudah mulai goyang, Pak. Karena dua warung di dekat saya jaraknya cuma 3 meter. Mereka ikut dagang seperti saya," adunya sambil menahan tangis. Supaya bisa bertahan, terpaksa ia membanting harga. Dari awalnya per kilo bisa mengambil keuntungan setidaknya Rp 2.000, sekarang Bu Yulandari memotong keuntungannya hingga Rp 500 sampai Rp 1.000 saja. Ini tentu mengenaskan. Sementara untuk mengemasnya menjadi promo yang tidak perlu membanting harga, ia tak mampu.
"Jadi rugi dong saya Pak kalau dibikin promo dengan produk lainnya," jawabnya khawatir saat saya menyarankan untuk membuat bundling telur dengan produk yang laris di pasaran.
Bagaimanapun, usaha ini juga ikut mendorong orang-orang di sekitar kehidupan Bu Yulandari produktif kembali. Suaminya yang kehilangan pekerjaan bisa ikut membantu. "Ponakan saya juga ikut membantu. Tapi sekarang ia sudah pulang ke kampungnya. Tinggal kami berdua sekarang." Sementara mereka masih harus menanggung beban mengasuh tiga anak yang relatif masih kecil-kecil..