Setelah turun dari perjalanan yang cukup lama dari Baubau, maka saya mendarat di Pelabuhan Anging Mamiri yang ada di Makassar. Seperti juga pelabuhan di Baubau, saya juga mengagumi arsitektur pelabuhan ini. Bagusnya sama, dengan ruangan yang jauh lebih luas dan lega. Bentuk atapnya membulat dengan warna abu-abu muda, futuristik sekali.
Dari segi fasilitas, Pelabuhan Anging Mamiri Makassar jauh lebih lengkap dibanding Pelabuhan Baubau. Di sini tersedia banyak sekali counter pembelian tiket elektronik, dan poster-poster petunjuk jadwal kapal tersebar di mana-mana, sehingga sangat memudahkan bagi yang baru pertama kali naik kapal.
Sebenarnya begitu kapal merapat, bisa saja saya langsung terbang ke Jakarta. Tapi badan terasa letih sekali setelah seharian kesulitan tidur di atas kapal KM Nggapulu. Lagipula karena menahan-nahan buang air, ada terlalu banyak panggilan alam yang mampet di perut. Saya juga masih harus membersihkan diri dan mandi yang bersih, daripada nanti di pesawat menghadirkan ketidaknyamanan bagi orang lain.
Maka dengan Airy, saya lalu menemukan ada kamar yang cukup murah, dengan diskon nyaris 50 persen di sekitar pelabuhan. Harusnya 300 ribuan, bisa saya sewa semalam dengan harga Rp 170 ribuan saja. Gambarnya juga meyakinkan. Sekali pencet, lalu deal..
"Kaka sa jemput ini di dalam pelabuhankah?" Tanya seorang driver gojek yang menjemput saya. Oalah, saya lupa. Di berbagai daerah, ojek online belum diterima kehadirannya di berbagai terminal, bandara, dan pelabuhan.
Eh tapi, syukurnya, si abang gojek yang khas logat timurnya ini menawarkan untuk masuk sembunyi-sembunyi dengan membuka jaketnya, sehingga seolah dijemput kerabat atau keluarga.
"Tapi tolong sa nanti dibantu uang parkir ya, Kakak. Harus bayar kalau sa mau jemput kita masuk ke dalam," Syukurnya saya sudah sekitar seminggu jadi mulai bisa beradaptasi dan mengerti logat masyarakat timur Indonesia. Saya iyakan dengan menyelipkan uang ribuan ke dekat kerah bajunya. Ia mengambil dan memberikannya dengan sigap kepada counter parkir.
Kami melaju ke Jalan Bali, tak berapa jauh dari pelabuhan. Di sana sudah menunggu resepsionis dari Hotel Tiara Sari. Rupaya dengan harga semurah tadi, saya masih mendapat jatah makan sarapan dua porsi. Perfect. Bisa berhemat karena uang saya juga harus dihemat untuk membeli tiket pesawat besok.
"Kalau mau makan malam juga silakan, Bapa. Kita sajikan makan malam di restoran di lantai dua." Bujuk petugasnya dengan sangat ramah. Tapi tentu kalau makan malam bayar, dan melihat menunya saya merasa biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Maka malam, sambil menyisiri lingkungan hotel, saya berjalan-jalan mencari makanan. Nampaknya seperti juga daerah Puri di Semarang, di Jalan Bali ini juga tampaknya kawasan Pecinan, karena gerbangnya saja sudah merah menyala dengan tulisan China, dan kita bisa dengan mudah menemukan banyak masakan China di warung-warung dan kedai di sekitar sini.
Karena lapar tidak tertahankan, saya masuk ke salah satu kedai bakmi. Boleh jugalah sekali-sekali menikmati bakmi ala Orang China. Tapi tentunya saya cari yang halal, di sekitaran Jalan Sulawesi. Okelah ada Bakmi Hokkian. Baunya harum menggoda. Tapi tampaknya saya masih terpengaruh oleh kesedihan kabar meninggalnya Tommy, sehingga saat disuapkan, kok ya rasanya sulit sekali ditelan, selain juga saya memang dalam kondisi batuk. Hanya sekitar enam kali suap sebelum akhirnya saya pergi meninggalkan mangkuk besar yang masih berisi banyak bakmi.