Saat diundang ikut oleh Budiman Sudjatmiko, sebagai upaya memasyarakatkan debat yang rasional di antara para aktivis di media sosial, saya sedang dalam perjalanan ke Jogja.
Poster debat antara dia dan Dandhy Laksono menyatakan debat ini akan berlangsung seru, antara dua orang yang sedari dulu terkenal dengan haluan kirinya.
Seperti kata moderator saat pembukaan, ibarat sepakbola, satu kiri luar, diwakili filmaker Dandhy Laksono, satunya kiri dalam, tokoh aktivis 90an yang terkenal dengan UU Desanya, Budiman Sudjatmiko.
Temanya apa lagi kalau bukan kisruh Papua.
Bukan karena memang berteman dengan Mas Bud, demikian panggilannya, kalau saya lebih mendukung pandangan-pandangannya mengenai Papua.
Tapi, memang kebiasaan Dandhy yang memblokir siapapun yang tidak sependapat. Saya tidak mendukungnya karena tidak mengerti sama sekali satu pun idenya, karena sudah sejak setahun lalu akun saya diblokir.
Maka walaupun perdebatan di media sosial yang sudah terjadi berminggu-minggu ini katanya seru, dari sudut pandang saya sendiri, seolah Budiman Sudjatmiko lah yang sibuk bermonolog, walaupun kenyataannya mereka berbalas-balasan.
Ya bagaimana lagi, tiap kali saya buka thread reply-reply-an antar kedua tokoh ini, saya cuma bisa baca komentar mas Bud, balasan dari Dandhy hanyalah tulisan "This tweet is unavailable." Mas Bud lah, yang kalau saya mau jujur, jadi seolah sedang berpidato.
"Saat dunia politik dipenuhi oleh pidato-pidato monolog, maka debatlah yang akan membersihkannya," Demikian prinsip yang selalu ia tekankan sejak Pemilu 2019 lalu.
Beberapa tahun kenal dan sering berkolaborasi, kami berdua kalau ngobrol selalu sama-sama fair, Mas Bud tidak pernah menganggap peraturan hanya berlaku untuk orang lain, apalagi menganggap orang lain sebagai junior yang harus mengikuti titahnya.
Maka saya tahu pasti, prinsip ini pasti diterapkan ke diri sendiri. Ia tentu tak rela bila followernya hanya mengikuti pendapat-pendapatnya soal Papua. Ia juga ingin yang lain, yang banyak seperti saya, terblokir oleh Dandhy, bisa juga dengan adil mendengarkan argumen tokoh yang sering dijuluki Social Justice Warrior ini.
Maka tanggal 20 kemarin, saya bela-belain segera pulang ke Jakarta walaupun saya masih menikmati perjalanan keliling Jawa naik bus. Sekitar pukul 10:00 sampai di rumah, mandi, beres-beres, saya langsung bergegas ke markas Visinema di Cilandak Timur.