Lihat ke Halaman Asli

Hariadhi

Desainer

Menyapa Tuan Max Havelaar di Rangkasbitung

Diperbarui: 21 Agustus 2019   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

"Katanya bokek... Kok ngajak jalan lagi" ejek Tommy Bernadus sambil tertawa-tawa saat saya mengajaknya main ke Banten. Beberapa waktu lalu saya memang curcol ke dia kalau ga punya duit. "Lah,Cuma modal tiket KRL, apa susahnya Tom." Saya tertawa-tawa. "Ya udah tungguin ya, siap-siap baju dulu." Katanya. 

Pagi itu, sekitar pukul 05:00 kami bergerak ke Stasiun Tanah Abang. Naik Go Car adalah opsi paling mahal sepanjang perjalanan kami seharian ini. Tiket kereta ke Rangkasbitung hanya Rp 8.000. Murah sekali untuk sebuah jalan-jalan demi pelarian dari rasa suntuk bekerja di ibukota.

Dokpri

"Keren ya sekarang, Stasiun Tanah Abangnya?" Seru saya takjub. Beberapa kali jalan kaki kami ke peron terhenti karena dapat spot berfoto-foto yang bagus sekali. Stasiun-stasiun milik KAI memang sekarang banyak yang jadi bagus dan tertata. Mirip stasiun di luar negeri.

Dokpri

Hanya menunggu 15 menit KRL bergerak ke arah stasiun sepanjang Jakarta Barat dan kemudian masuk ke Provinsi Banten. Ujungnya adalah Rangkasbitung. 

Sayangnya karena sudah kecapean karena kemarin mengurusi pertemuan Inovator 4.0 Indonesia, antara pak Jokowi dan Mas Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan, saya jadi tidak tidur seharian. Dan akhirnya karena ayunan nyaman dari KRL, mata saya tiba-tiba jadi berat dan tidak bangun lagi sampai diteriaki Tommy.

Dokpri

"Udah Rangkas, bangun!"

Dengan kecepatan dan kenyamanannya, KRL mengantarkan kami hingga stasiun terakhir di Rangkasbitung, disambut tukang ojek dan becak. 

Stasiun ini, walaupun penampilannya juga bagus, namun di sekelilingnya masih banyak mangkal tukang ojek dan becak yang berebut menawarkan jasanya. Lagipula tepat di samping stasiun ini ada pasar.

Dokpri

"Ga usah Kang, makasih," Kata saya sambil terus berjalan mengajak Tommy mencari sarapan. Dan akhirnya kami menemui pedangang jajanan di bagian tengah pasar. 

"Kue pasung, mau?" seorang Ibu menawarkan. Tentu saja karena sudah lapar, maka saya meminta dibungkuskan masing-masing sepasang kue yang nikmat. "Ada yang aneh-aneh ga Bu, jualannya?" Si Ibu mengerinyit. "Aneh gimana maksudnya?" Ia bertanya. "Yang kira-kira jarang di Jakarta.

Dokpri

"Ohhh.. cobain ini pepes belut," Katanya coba meyakinkan. "Beneran belut?" Tanya saya heran. Sebab biasanya pepes di Jakarta hanya ada ayam, ikan, tahu, atau jamur. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline