Lihat ke Halaman Asli

Hariadhi

Desainer

Ada Cinta di Secangkir Kopi

Diperbarui: 2 Oktober 2018   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Cinta di Secangkir Kopi

Beberapa waktu lalu di Facebook saya sempat ngejoke soal mba-mba cantik yang berantem di parkiran dan ingin saya berikan kopi Cinta. Cerita itu setengah tidak serius, tapi soal kopi Cinta itu serius lho.

Hah? Hariadhi mempertimbangkan diri membuka hati ke wanita lain?

Hahaha, tentu saja bukan. Kopi Cinta ini benar-benar bernama Cinta, dan mungkin akan jadi ngetren kalau melihat dari segi branding namanya saja. Bukan maksud saya menyatakan cinta lewat kopi, tapi kopi yang diproduksi oleh petani di Desa Cinta.

Emang ada ya Desa Cinta?

Jadi begini... Awal dari cerita ini adalah pertemuan saya dengan Kang Budi Etnik di Bandung. Waktu itu saya sedang iseng meneruskan tur #1000kmJKW bersama dua wanita cantik, Uni Eli dan Mba Ika Harlein. Setelah mendokumentasikan jalur kereta layang LRT Bekasi - Jakarta dan jalur tol tingkat Jakarta Bandung yang pembangunan fisiknya dimulai sejak Jokowi memimpin, kami bertiga segera menuju Bandung, menghadiri pertemuan Teman Jokowi Bandung.

Sambil sharing mengapa sebaiknya orang Jawa Barat, yang pasti mayoritasnya saat pilkada kemarin memilih Ridwan Kamil, harus juga mendukung Jokowi, saya bercerita pula perjalanan saya berburu relawan pendukung Jokowi di daerah. Lalu iseng saya ajak Kang Budi Etnik yang juga ternyata sesama pecinta kopi. Saya tanyakan apa kopi primadona di Jawa Barat.

"Wah kalau itu teh harus coba Kopi Garut," jawab Kang Budi sambil mengacungkan jempolnya. Ngobrol berempat dengan Uni Eli dan Ika, kita ngalor ngidul seperti orang mabuk masalah kopi. "Kopi itu sejarahnya sangat religius." kata saya. "Orang Eropa cenderung menggunakan wine sebagai minuman ritual mengiringi ibadahnya." Jelas saya.

Mereka menatap saya serius dan mengangguk-angguk. "Tapi sebaliknya dengan muslim yang menjadi saingan mereka di Jazirah Arab dan Afrika Utara, lebih memilih kopi, alias wine hitam, untuk mencapai kondisi sadar dalam beribadah. Sementara wine sendiri di dunia barat cenderung membuat badan hangat, mengantuk, dan rileks. Para sufi menggunakan kopi untuk membuat mereka tetap bertahan dalam kondisi trance untuk beribadah di larut malam."

Ya, dan kenyataannya memang kopi sempat dilarang di Eropa karena dianggap minuman setan. Lebh tepatnya sih ketakutan dengan pengaruh Budaya Islam dari Arab merusak kekuasaan mereka.

Tapi petunjuk yang diberikan Kang Budi Etnik membuat saya tercenung berpikir untuk melanjutkan perjalanan ke Garut. Sayangnya Uni Eli dan Ika pada waktu itu harus buru-buru diantarkan pulang. Mereka punya aktivitas lebih lanjut.

Hasrat berburu Kopi Garut sempat terlupakan saat saya melanjutkan perjalanan #1000kmJKW ke arah Semarang, Jogja, Banyuwangi, dan akhirnya NTB. Atas request Mas Kokok Dirgantoro, caleg sugih, yang menumpang dan ikut patungan biaya perjalanan, Saya melewati jalur Utara, melewati Cirebon, Brebes, Semarang, dan akhirnya Jogja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline