Mungkin ini adalah bagian paling religius dan sekaligus penuh perenungan dari seluruh tulisan saya mengenai #1000kmJKW. Sebuah perjalanan yang begitu panjang, melelahkan, namun sekaligus paling bermakna dari semua fragmen.
Ya, saya bisa mengerti mengapa Pak Jokowi begitu mencintai Tanah Aceh Gayo. Karena Aceh adalah negeri Serambi Mekah, Aceh adalah negeri ke mana Tuhan menghadap. Dan di sanalah saya menemukan Dia.
Tak ada penyerahan diri tanpa rasa pasrah. Pasrah dalam kondisi titik nadir, seperti juga kita membaca dari sejarah dan berbagai kitab, bahwa banyak sekali tokoh agama, nabi, bahkan seorang Buddha sekalipun menjatuhkan titik kehidupan di titik terdalam sebelum mencapai pencerahan. Karena pencerahan adalah sebuah ujung dari penyerahan total kepada kondisi apapun, tanpa syarat.
Kopi, di satu sisi, adalah minuman paling religius. Sejarahnya ia bukanlah minuman para hipster. Kopi sudah lama dimanfaatkan oleh para sufi untuk mempertahankan kesadaran dari rasa kantuk. Wine, sebaliknya dari pengaruh kehidupan Bangsa Eropa dan Mesir, adalah minuman beralkohol yang berujung kepada rasa mengantuk dan ketidak sadaran.
Kopi dan wine, walau bertolak-belakang, sama-sama mengarah kepada trance, sama-sama sebenarnya soal pencarian akan Tuhan dan sama-sama dimanfaatkan oleh orang yang tenggelam dalam Agama.
"Coba lewat ke Takengon untuk mencari kopi, di situ sumber terbaik Kopi Aceh Gayo," kata seorang penjaga warung kopi saat saya tanya di mana sumber kopi Aceh.
"Takengon itu sumbernya nenek moyang orang Gayo, di sanalah peradaban Aceh Tengah berasal." Dan benar saja, saat akhirnya saya sampai ke Danau Lot Tawar di Takengon, saya menemukan jalan masuk menuju kumpulan artifak di Aceh, gua berisi tulang belulang dan rumah primitif nenek moyang mereka. Sayang saya tidak punya banyak waktu untuk menjelajahinya.
Danau Lot Tawar sendiri subur luar biasa. Banyak daerah bisa mengklaim penghasil kopi Aceh Gayo, namun tak ada yang bisa menyaingi rasa kopi dari Takengon. Daerahnya tidak terlalu tinggi, sehingga tidak menghasilkan kadar asam terlalu tinggi di kopinya. Namun juga masih cukup subur dan tinggi sehingga rasanya masih kaya.
Walau demikian, di sekitaran perbukitan Takengon, masih ada penjemur dan pedagang biji kopi yang masih nakal mencampurkan beberapa varietas dan kualitas biji kopi yang kurang baik, sehingga konsistensinya belum terbentuk.
Seorang petani yang saya temu setelah melewati Hutan Lindung, menuju Tekengon, menawarkan biji kopi yang cukup murah, hanya Rp 40 ribu per kilogramnya.
Namun setelah saya bawa ke penggilingan kopi di Coffee Boutiqe di Jalan Antasari, terbukti kualitasnya pun mencerminkan harganya, asal-asalan, dari berbagai varietas yang tidak konsisten, dan bercampur banyak kerikil. Hasilnya kopi yang juga kurang keruan rasanya.