Kok bisa mengatasi gizi buruk pake sepeda? Emang sepeda bisa dimakan?
Jadi begini ceritanya.. setelah berkali-kali keluar masuk dan bantu Suku Anak Dalam, saya dan teman relawan lainnya jadi makin mengerti sebab 2015/16 kemarin Suku Anak Dalam kelaparan.
Atas pertolongan relawan di Jambi, Pery Monjuli, saya berhasil menemui Jenang (kepala suku besar penghubung) Suku Anak Dalam di Air Hitam, Sarolangun Jambi. Jenang Jala Ludin namanya. Jika teman-teman search di Google, ada berbagai versi Jenang Suku Anak Dalam akibat kesembronoan pemerintah mencampuri adat istiadat mereka. Tapi itu bagian dari masa lalu yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi. Tapi yang jelas Jenang Jala Ludin ini cukup bertanggung jawab dengan tugasnya, mengurusi segala keperluan Suku Anak Dalam, terutama yang berhubungan dengan dunia luar.
Sebelum saya masuk pun, saat saya bertanya kepada warga setempat, seorang Ibu pedagang di Pasar, anggap saja namanya Bunga, mengingatkan dengan muka prihatin. "Wah sekarang SAD itu lah idak bisa cuma dikasi rokok. Sudah mulai pintar mereka!" Saya jadi terheran-heran, "Lho kok masyarakat tertinggal bisa lebih maju malah dianggap problem? Bukannya bagus kalau mereka jadi lebih pintar?
Setelah diberi briefing singkat oleh Jenang, barulah saya paham bahwa Suku Anak Dalam Jambi selama ini menjadi korban eksploitasi, dijadikan pajangan dan tontonan, serta objek untuk dikasihani oleh warga pendatang. Secara rutin mereka diberikan bantuan konsumtif, seperti beras, kopi, rokok, ikan, tapi ujungnya dijadikan bahan foto-foto. Selesai diberikan, ya sudah, pulang, merasa sudah beramal besar. Padahal itu semua menghasilkan bencana dahsyat yang ujungnya adalah kelaparan di Suku Anak Dalam.
Ya, bantuan-bantuan itu secara perlahan mengubah pola konsumsi makanan dan gaya hidup Suku Anak Dalam. Dari pemburu dan pengumpul makanan (hunter and gatherer) jadi mulai bergantung kepada hasil pertanian yang mereka sendiri kesulitan memproduksinya. Mereka yang selama ini terbiasa mencari sendiri makanan di hutan, mulai duduk-duduk di pinggir jalan, menunggu kapan bantuan berikutnya datang.
Dan seperti juga yang dihadapi Butet Manurung di sekitar Tebo dan TNBT, bahasa adalah kendala utama Suku Anak Dalam..sulit sekali mengajari mereka membaca karena cara bicara dan spelling mereka jauh beda dgn kita. Butuh ahli bahasa yg jago. Mengajari mereka harus serius, harus yang segigih Butet. Tak bisa sekali lewat lalu berharap mereka pintar semua.
Selain itu ada stigma terhadap Suku Anak Dalam yang tidak adil seperti malas, banyak maunya, tidak mau maju, bahkan bau tak mau mandi.
Sebelum saya masuk, ibu-ibu sekitar mengingatkan "Hati-hati kalau dekat sama mereka, banyak yang berbulan-bulan tidak mandi, sehingga dari jarak 10 meter saja baunya nempel." Sebuah cap stempel yang kejam, yang membuat mereka selalu ditekan sebagai pihak yang inferior. Padahal saat saya temui, mereka sudah mandi sore, dan bedakan, walaupun tetap tinggal di hutan dan hidup di tenda alam, beratapkan dahan dan dedaunan.
Lebih lanjut, dengan kesulitan mereka berbahasa indonesia, jangankan baca dan tulis, sementara mereka mulai berubah gaya dan tuntutan hidupnya, membuat mereka mulai butuh uang. Apalagi sumbernya kalau bukan tanah mereka?