Ada apa dengan Ron Howard? Pertanyaan itu muncul di benak saya setelah menonton film Solo: A Star Wars Story. Padahal setahun yang lalu, saya dibuat terkesima oleh film dokumentasinya tentang The Beatles: Eight Days A Week. Dan ironisnya kala itu, saya menjadi satu-satunya penonton dalam bioskop.
Sedikit menyedihkan, tapi terbayarkan di akhir setelah puas serasa memiliki Home Theater seorang diri. Ditambah melihat salah satu footage tentang konser The Beatles. Tapi disini saya tidak akan membahas film tersebut, ataupun film spin off Star Wars tersebut. Saya hanya akan membahas kiprah Ron Howard sebagai seorang Sutradara dan persepsi saya terhadapnya.
Ron Howard bukan diragukan lagi menjadi salah satu sutradara berpengalaman yang sangat underrated. Sudah puluhan film yang disutradarai, dan mendapatkan banyak penghargaan termasuk puncak kariernya saat Piala Oscar tahun 2002 dalam kategori Film dan Sutradara Terbaik pada dalam film A Beautiful Mind.
Saat itu, dia mampu menaklukkan sutradara-sutradara mumpuni seperti Ridley Scott (Black Hawk Down), Peter Jackson (The Lord Of The Rings: The Fellowship of The Ring), Robert Altman (Gosford Park) hingga David Lynch (Mulholland Drive).
Tak hanya di film tersebut, Ron Howard juga terbilang sukses dalam menggarap film-film dengan karakter 'nyata' lainnya seperti Apollo 13 (1995), Cinderella Man (2005) dan juga Frost/Nixon (2008) hingga Rush (2013).
Sayangnya, sentuhan magisnya yang nyaris sempurna mulai dipertanyakan sejak menggarap The Da Vinci Code (2006) yang mendapatkan review yang kurang bagus Tak hanya film tersebut, sekuel film tersebut yang juga berasal dari novel-novel karya Dan Brown seperti Angels and Demons (2009) dan Inferno (2016) juga mendapat review yang agak mengecewakan.
Terakhir, Sutradara yang mengawali karier sebagai aktor cilik ini juga gagal mengemas film yang terinspirasi dari novel Moby Dick pada tahun 2013 dalam film In the Heart of the Sea. Jelas Ron Howard harus intropeksi agar bisa membuktikan pada kritikus bahwa dia juga bisa menjadi sutradara yang bisa memaksimalkan film-film fiksi menjadi berkualitas layaknya film-film biopiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H