Oleh : Harfani
Sebenarnya kalimat di atas adalah lirik dari lagu minang yang berjudul laruik sanjo yang di ciptakan oleh Asbon Madjid, lagu ini sangat berkesan dan berpesan sekali bagi saya sehingga saya jadi penasaran dan berfilosofis pada potongan lirik lagu ini. Penuh dramatis pada kenyataan hidup, bermakna suruik pangana dan menjurus pada arti sebuah kebimbangan antara belum berhasil dan sudah berhasil pada perjuangan hidup seseorang.
Pada pandangan filsafat lirik-lirik lagu pada laruik sanjo penuh dengan estetika, karena bisa membuat telinga seseorang nyaman, puas dan candu mendengarkannya bayangkan lagu ini membuat seseorang bisa intropeksi diri, membuat orang harus berbenah dan berubah walaupun di racik dengan nada-nada sendu bercampur riang. begitupun yang saya rasakan. Maka dari itu tidak heran jika orang minang banyak perbendaharaan lagu minang yang beragam kisah dalam judul dan liriknya.
Jika di maknai secara etimologi mabuak untuang jo parasaian berarti mabuk untung dan penderitaan, kemudian adalah sebuah utopis kehidupan yang belum sampai menemui titik yang di tuju, gambaran hidup yang belum berubah, makanya dari itu ada kata mabuak pada kalimat tersebut. Kemudian lagi bentuk kebimbangan hidup yang mesti di jeda kemudian di lanjutkan kembali dengan semangat hijrah dan revolusi yang di miliki oleh orang Minangkabau.
"Takkan berhenti pada nasib buruk": sebuah jati diri orang Minang
Walaupun lirik lagu ini sudah zaman saisuak ada banyak tersirat kesan yang bisa di ingat oleh saya sendiri lewat teelinga seseorang yang mendengarnya, dulu sejak berumur kecil saya tidak suka sekali mendengarkan lagu Minang karena terkesan kampungan dan tidak gaul sama sekali.
Setelah sekian durasi dilewati hingga sekarang saya jadi suka mendengarkan lagu Minang apalagi lagu yang sudah dulu kala. Entah kenapa, barangkali setelah lama di kampung kemudian merantau jauh jadi selalu rindu dengan tanah kelahiran, dengan mendengar lagu Minang bisa mengobati dan mengingat ranah Minangkabau. Hal ini bisa kita temui di tanah perantauan, orang Minang akan sering mendengar lagu minang untuk menepis kerinduan mereka kepada kampung halaman
Kodrat manusia itu adalah makhluk dinamis yang selalu begerak dan berubah, betapa tidak mereka akan mengalami fase-fase perubahan pada setiap jengkal waktu yang di temukan. Orang minang sudah membuktikan mereka adalah manusia dinamis yang takkan tinggal diam pada nasib hingga bisa sampai pada titik nasib baik yang mereka temukan, kedinamis-an mereka selalu penuh dinamika yang beragam yang takkan jauh-jauh antara baruntuang dan baparasaian.
Kemudian pada akhirnya setelah berlama-lama menikmati mabuak untuang jo parasaian mereka akan menemukan hijrah yang sesungguhnya, konsep hijrah yang di pakai oleh Nabi Muhammmad Shollahu 'Alahi Wassalam, strategi revolusi Ibrahim Datuak Tan Malaka dan cara jenius Agus Salim yang menjadi jati diri orang minang. Jati diri yang ndak lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan. Jati diri yang tagak nan di data, bajalan nan di luruih, bakato di nan bana, manimbang di nan adil.
Semoga mabuak untuang jo parasaian hanya sebuah lirik lagu saja
Ada sebuah tuntutan dan nasehat Nabi Muhammad shollahu 'alaihi wassalam yang mengatakan "setiap perkataan adalah doa", dan sayapun berharap sedemikian pada judul kecil di atas. Semoga uraian panjang teks pada lagu "lah laruik sanjo"tersebut hanya sebuah lirik saja. Cukup pada lirik saja, yang menghibur semua orang yang mendengar.