Matahari enggan menemui Eropa. Entah kenapa. Eropa kini lebih memilih berkencan dengan Si Dingin. Sejarah baru dimulai. Wajar jika setiap orang bertanya, kau yang rupawan kok mau jalan bareng dengan Si Dingin?
Mari kita kembali ke belakang, ketika Eropa masih dalam pelukan Matahari. Keindahan Eropa semakin mempesona dengan pancaran sinar Matahari. Bunga-bunga bermekaran setiap pagi hari karena kecupan sayang dari Matahari.
Padang rumput bersolek dengan gaun hijau segar. Sinar Matahari mengantar embun segar ke angkasa untuk menyampaikan doa para penghuni bumi kepada penguasa langit. Kadang dipenuhi sesegera mungkin berupa hujan, atau paling tidak gerimis yang menawarkan kesejukan.
Karunia begitu mudah turun. Ada yang bersyukur, namun lebih banyak yang lalai. Mereka yang alpa merasa jenuh dengan keadaan yang monoton. Lalu mereka berandai-andai. Seandainya ada Si Dingin, tentu lebih indah pemandangannya.
Matahari sedih. Betul kata orang, manusia memang makhluk tak tahu berterima kasih. Kesedihan Matahari turut dirasakan Si Penguasa alam. Lantas harapan mereka dikabulkan. Si Dingin disuruh turun ke bumi untuk memenuhi hasrat manusia.
Mereka gembira. Berpesta merayakan suasana baru. Tapi itu tak berlangsung lama.
Mereka yang abai terhadap karunia Ilahi kembali bikin ulah. Mereka ingin kembali pada keadaan semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H