Lihat ke Halaman Asli

Suharto

Penulis lepas

Kincir Angin Tua

Diperbarui: 1 Juli 2021   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kincir angin tua di sebuah pemukiman (Pixabay.com)

Sudah lama kau berdiri di sana. Warnamu memudar. Kau biarkan tubuhmu dirambati jamur dan lumut. Mimpi kita ditemukan di sana. Ada janji untuk mengunjungimu.

Janji itu tertulis jelas pada dindingmu. Tak lekang oleh gerusan waktu. Aku menulisnya dengan antusias. Meski hanya dalam mimpiku.

Angin tak pernah dusta. Ia setia memutar baling-baling. Agar sendi kehidupan bergerak. Kemudian membagikan kebahagiaan bagi orang yang membutuhkan.

Pertemuan itu akhirnya terwujud. Kita berbagi senyum. Rindu yang terpendam meluap jadi satu. Lihat, semak belukar itu bersuka cita turut merayakan kebahagiaan kita.

Kekuatan kita bertambah setiap kali angin meniup. Makin kencang angin bertiup makin cepat menghasilkan tenaga yang kau sebarkan untuk kebutuhan manusia.

Meski tua dan kadang lelah, kau tetap berderak mengikuti angin. Suaramu adalah kegembiraan. Menyanyikan lagu angin yang juga tak lelah melayani penghuni bumi.

Menetes air mata saat kudengar kau akan dirobohkan. Berbagai alasan disodorkan. Lelah yang setiap hari kau rasakan kini telah diabadikan sejarah. Aku akan merawat kenangan bersamamu dalam bilik hidupku.

Surabaya, Kamis 1 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline