Lagi dan lagi kursi singgasana kududuki. Ditemani komputer dan gawai tentu membuat jari-jariku tunjuk berdiri. Ingatan mulai mengitari bayangan. Siapa dan kenapa aku sekarang ini. Rasa tak karuan hati membuat pedas mata untuk menatap masa depan.
Kuingat seseorang lelaki tua hingga mata terlelap tertidur, hingga mentari di pagi hari pasrah menghilang bersamaan ejaan namanya. Rupanya memaknai kepribadian seseorang itu terkadang mirip dengan mencari seutai jarum diatas jerami. Susah, dan membingungkan. Sikap prustasi mendorong orang itu untuk mengartikulasikannya sendiri.
Gelisah seperti memburu masa depan tak bertujuan. Mata berkedip yang dipaksakan hanya menghilangkan kecemasan sesaat. Pria paruhbaya yang dinantikan kedatanganya hanyut dalam urai debu.
Sosok pria bertubuh gempal itu tentu bukan orang sembarang. Mimik wajahnya sangat berwibawa. Ucapan per ucapannya mampu diikuti banyak pengikutnya. Sorot matanya mampu meredam pancaran kunang-kunang di malam hari. Tajam dan fokus. Aku pun mengagumi kecakapannya.
Rambutnya sudah memutih, tanda segudang pengalaman berada dalam cengkraman. Tak ada yang mampu menandangi kepiawaiannya. Rumput pun bisa tertunduk bila kakinya melangkah. Alangkah hebatnya pria itu.
Sesekali aku pernah menyapa, tapi pria itu membalas dengan tertawa terbahak-bahak, Ha4x ciri merendahkan. Seolah dirinya berada di atas air yang tak pernah keruh. Air yang acap kali bisa membuatnya surut ke dasar. Air yang mampu merendam semua kekuatannya dalam sesaat.
Konon, pria itu disusupi kegelapan. Giginya mulai menaring, kulitnya pun ikut mengering. Membuat kuku-kukunya mulai siap menjaring. Seperti posisi kuda-kuda ingin menerkam. Tak peduli, teman atau lawan. Luapan kesetanan terus menyusupi akal sehatnya.
Awan hitam seolah menjadi kawan sejati. Senja pun urung muncul. Seluruh pengikut setianya mulai meninggalkan. Tidak ada kepatuhan lagi, semua orang dibuat takut. Aku pun selalu berharap dia berubah. Berubah untuk menghargai setiap orang. Memanusiakan setiap manusia.
Apakah ini tanda kekuasaan lelaki tua itu mulai runtuh, karena keniscayaan. Sebuah jawaban yang perlu diamati sangat matang. Lelaki itu seperti menikmati kedustaan. Lupa dari mana berasal, sejatinya kebesarannya teronggok sendiri.
Pilu mendengar irisan perjalanan hidup pria itu. Sudah tak ada lagi canda bising hangatnya. Senyum merindu lelaki tua itu hilang digerus bayangan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H